Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

KontraS: Kekerasan Aparat Langgar Konstitusi dan Hak Asasi
(Foto: Tempo)

KontraS: Kekerasan Aparat Langgar Konstitusi dan Hak Asasi



Berita Baru, Jakarta – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkap berbagai tindakan kekerasan dan represi yang dilakukan oleh aparat Kepolisian terhadap masyarakat sipil yang menggelar aksi unjuk rasa menolak RUU Pilkada. Menurut KontraS, kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul secara damai merupakan hak konstitusional masyarakat yang harus dilindungi. Setiap bentuk kekerasan terhadap kebebasan ini dianggap sebagai pelanggaran konstitusi.

Dalam pemantauannya, KontraS mendokumentasikan adanya berbagai tindak kekerasan, intimidasi, dan penangkapan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian terhadap mahasiswa dan masyarakat yang terlibat dalam demonstrasi tersebut. KontraS juga menemukan dugaan penyiksaan terhadap peserta aksi oleh aparat Kepolisian.

“Tindak penyiksaan dan kekerasan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Konstitusi yang secara tegas menyatakan bahwa hak untuk tidak disiksa adalah hak yang tidak dapat dikurangi,” ungkap KontraS dalam siaran persnya, Jumat (23/8/2024).

Lebih lanjut, KontraS menyebutkan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian melanggar Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Peraturan ini mengatur bahwa penggunaan kekuatan oleh anggota Polri harus mematuhi asas legalitas, proporsionalitas, dan nesesitas. Berdasarkan pemantauan KontraS, terdapat dugaan pelanggaran terhadap asas-asas ini.

Tak hanya Kepolisian, KontraS juga menemukan adanya kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI terhadap demonstran, khususnya mahasiswa. “Hal ini jelas melenceng dari tugas pokok TNI yang diatur oleh UU No. 34 Tahun 2004,” jelas KontraS, menambahkan bahwa tindakan ini mencerminkan intervensi militer yang tidak semestinya dalam ruang sipil.

Selain itu, KontraS yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) juga menemukan dugaan penangkapan sewenang-wenang terhadap massa aksi serta upaya aparat untuk menghalangi bantuan hukum bagi mereka yang ditangkap. “Advokat yang tergabung dalam TAUD selama berjam-jam dihalangi untuk memberikan pendampingan hukum kepada peserta aksi yang tertangkap,” jelas KontraS. Penghalangan ini dianggap melanggar UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yang menjamin hak warga negara untuk didampingi oleh penasihat hukum.

Lebih parah lagi, beberapa peserta demonstrasi yang ditangkap hingga kini belum diketahui keberadaannya, sehingga KontraS menduga telah terjadi “penghilangan” sementara yang mengakibatkan mereka berada di luar perlindungan hukum. KontraS juga mencatat adanya kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis yang meliput aksi tersebut, yang melanggar UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. “Kekerasan terhadap jurnalis merupakan serangan terhadap independensi media, salah satu pilar demokrasi,” tegas KontraS.

Tindakan-tindakan ini semakin diperburuk dengan pernyataan dari Polda Metro Jaya yang awalnya menyangkal adanya penangkapan peserta aksi pada 22 Agustus 2024, namun kemudian meralat pernyataannya dan mengakui adanya ratusan peserta aksi yang ditangkap.

Atas dasar temuan-temuan ini, KontraS mendesak lembaga pengawas seperti Kompolnas, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, dan KPAI untuk memantau dugaan pelanggaran HAM oleh aparat selama aksi 22 Agustus 2024. KontraS juga meminta Kepolisian dan TNI untuk menindak tegas anggotanya yang terbukti melakukan tindak kekerasan serta memberikan akses hukum kepada peserta demonstrasi yang ditangkap.