Komnas Perempuan Dorong Pemenuhan Hak Bahasa Isyarat untuk Lindungi Perempuan Tuli dari Kekerasan
Berita Baru, Jakarta – Pada peringatan Hari Bahasa Isyarat Internasional, Komnas Perempuan menekankan pentingnya aksesibilitas layanan bahasa isyarat, terutama bagi perempuan Tuli, sebagai bagian dari upaya melindungi mereka dari kekerasan berbasis gender. Tahun ini, tema “Sign up for Sign Language Rights” kembali menegaskan hak-hak komunitas Tuli, yang salah satunya adalah akses terhadap layanan bahasa isyarat sebagai alat untuk mendapatkan informasi penting, khususnya terkait kesehatan seksual, reproduksi, dan pencegahan kekerasan.
Rainy M. Hutabarat, Komisioner Ketua Bidang Advokasi Internasional Komnas Perempuan, menyoroti kerentanan khusus yang dihadapi perempuan Tuli. Ia menjelaskan bahwa kondisi disabilitas yang tidak terlihat, seperti ketulian, sering kali membuat mereka lebih rentan terhadap isolasi dan kekerasan.
“Tanpa bahasa isyarat, terlebih tanpa ‘live/closed caption’ di media sosial dan platform virtual lainnya, perempuan Tuli kesulitan menerima informasi yang diperlukan, khususnya pengetahuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi serta bentuk-bentuk kekerasan. Akibatnya, mereka lebih rentan terhadap kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi,” ungkap Rainy seperti dikutip dari siaran resmi Komnas Perempuan.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa ketersediaan layanan bahasa isyarat yang layak memungkinkan perempuan Tuli mendapatkan informasi dan pengetahuan lebih baik mengenai hak-hak mereka, sehingga mereka dapat mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap kekerasan berbasis gender. Menurut Rainy, layanan ini harus diperluas, termasuk di kanal-kanal media sosial, agar dapat diakses oleh komunitas Tuli secara luas.
Bahrul Fuad, Komisioner Komnas Perempuan Ketua Sub Komisi Pemantauan, menggarisbawahi tanggung jawab pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, dalam menyediakan layanan bahasa isyarat yang mudah diakses oleh masyarakat. Ia juga menekankan pentingnya regulasi terkait standarisasi dan biaya layanan Juru Bahasa Isyarat (JBI).
“Biaya jasa Juru Bahasa Isyarat saat ini masih tergolong tinggi, sehingga banyak acara publik seperti seminar atau webinar tidak mampu menyediakan layanan ini. Pemerintah harus mengambil langkah konkret untuk menstandarkan biaya dan memastikan layanan ini terjangkau,” kata Bahrul.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, negara berkewajiban menjamin hak akses terhadap bahasa isyarat bagi komunitas Tuli, khususnya perempuan Tuli. Hal ini sangat penting untuk memastikan bahwa mereka tidak hanya memiliki akses terhadap informasi yang relevan, tetapi juga terlindungi dari berbagai bentuk kekerasan.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, turut menggarisbawahi bahwa bahasa isyarat harus diakui setara dengan bahasa lisan. “Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) mengharuskan negara untuk mempromosikan identitas linguistik komunitas Tuli serta memfasilitasi pembelajaran bahasa isyarat sebagai bagian dari pemenuhan hak-hak mereka,” ujar Andy.
Peringatan Hari Bahasa Isyarat Internasional ini kembali menegaskan komitmen Komnas Perempuan dalam memastikan aksesibilitas layanan bahasa isyarat bagi perempuan Tuli, sebagai langkah penting dalam upaya pencegahan kekerasan berbasis gender dan pemenuhan hak-hak perempuan Tuli di Indonesia.