Komnas Perempuan Desak Perlindungan Perempuan Pengungsi dalam Peringatan Resolusi PBB 1325
Berita Baru, Jakarta – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memperingati Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 1325 tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (Women Peace and Security – WPS) dengan menyerukan perhatian lebih terhadap kondisi perempuan pengungsi. Resolusi yang diadopsi sejak 31 Oktober 2000 ini menyoroti peran perempuan sebagai agen penting dalam perdamaian berkelanjutan dan mengutamakan perlindungan bagi perempuan yang terkena dampak konflik.
Komnas Perempuan dalam siaran persnya yang terbit pada Selasa (5/11/2024) mencatat bahwa, selain menjadi korban konflik, perempuan pengungsi menghadapi berbagai kekerasan dan diskriminasi di tempat penampungan. “Secara khusus, perempuan refugee yang tinggal sendiri atau menjadi orang tua tunggal kerap mengalami pelecehan seksual secara verbal baik dari sesama pengungsi maupun dari masyarakat lokal. Juga perempuan refugee juga mengalami kekerasan dalam rumah tangga,” ujar Komisioner Rainy M Hutabarat, merujuk pada hasil pemantauan di lokasi pengungsian di Makassar dan Tangerang Selatan.
Data UNHCR pada 2023 menunjukkan adanya peningkatan jumlah pengungsi global yang kini mencapai 50,3 juta, termasuk 12.295 pengungsi di Indonesia. Sebanyak 72% dari total pengungsi dewasa di Indonesia adalah laki-laki, sementara perempuan yang berada dalam situasi rentan menghadapi keterbatasan akses kerja dan kesehatan mental yang menimbulkan perasaan depresi.
Komnas Perempuan juga menyoroti tantangan kesehatan reproduksi dan seksual yang dihadapi perempuan pengungsi. Komisioner Siti Aminah Tardi mengungkapkan bahwa banyak perempuan pengungsi yang hamil mengalami keterbatasan akses untuk memeriksa kehamilan dan melahirkan di lokasi pengungsian. Kekerasan berbasis gender seperti perkawinan anak, kekerasan dalam rumah tangga, dan pemotongan genitalia perempuan (P2GP) juga masih terjadi. “Perlindungan dan pemenuhan hak-hak pengungsi khususnya perempuan pengungsi, anak-anak, dan kelompok rentan sangat perlu diberikan dalam konteks instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia,” kata Siti Aminah.
Selain pengungsi luar negeri, Komnas Perempuan mengungkapkan situasi pengungsi dalam negeri, khususnya warga sipil Papua. Data dari Human Rights Monitor mencatat sebanyak 79.867 warga Papua yang mengungsi akibat konflik sosial dan kekerasan hingga September 2024. Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja di Indonesia (KWI) melaporkan bahwa pengungsi Papua mengalami pelanggaran hak dasar seperti intimidasi, kekurangan pangan, akses kesehatan yang terbatas, serta kehilangan akses pendidikan.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menegaskan pentingnya penguatan kepemimpinan perempuan pengungsi dalam penanganan konflik dan perdamaian. “RAN P3AKS belum dijalankan secara optimal, dan belum mencakup konflik sosial terkait konflik sumber daya alam. Implementasinya masih sangat terbatas, terutama dalam mendorong kepemimpinan perempuan pengungsi,” jelasnya. Andy juga menyoroti pentingnya antisipasi terhadap krisis iklim yang dapat memperburuk situasi pengungsian, “Dalam hal antisipasi konflik sosial dan pemenuhan hak pengungsian, kita perlu memberikan perhatian serius pada persoalan krisis iklim.”
Komnas Perempuan berharap peringatan ini dapat menjadi momentum untuk meningkatkan perlindungan, pemberdayaan, dan pemenuhan hak perempuan pengungsi baik dalam negeri maupun luar negeri, guna mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan dan berkeadilan.