Komnas Perempuan Desak Keadilan bagi Korban Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Melalui Mekanisme HAM
Berita Baru, Jakarta – Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan bahwa keadilan bagi perempuan korban pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak dapat dicapai hanya melalui upaya non yudisial, tetapi juga memerlukan proses yudisial. Komnas Perempuan menilai bahwa korban telah terlalu lama menunggu keadilan yudisial ditegakkan. Organisasi internasional seperti PBB pun terus mendorong Pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa keadilan bagi korban tercapai, termasuk melalui peradilan bagi para pelaku.
Setiap tahun pada tanggal 17 Juli diperingati sebagai Hari Keadilan Internasional, yang didasari oleh adopsi Statuta Roma sebagai Perjanjian Internasional. Hari ini bertujuan untuk mengajak dunia internasional melindungi setiap warga dunia dari kejahatan internasional seperti genosida, kejahatan perang, kejahatan agresi, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, masih banyak warga dunia, terutama yang terlibat dalam perang dan konflik, yang belum mendapatkan keadilan, dan kejahatan terhadap mereka masih terus berlangsung.
Di Indonesia, menurut Komnas Perempuan upaya mencari keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat masa lalu seperti Peristiwa 1965/1966, Mei 1998, Aceh, Papua, dan penghilangan orang secara paksa belum sepenuhnya tercapai dan sering kali menemui jalan buntu.
“Pilihan penyelesaian lewat jalur non yudisial oleh negara belum berjalan efektif dan menimbulkan persoalan baru, terutama di tingkat masyarakat dan komunitas korban. Hal tersebut menjauhkan korban dari keadilan dan pemulihan, termasuk perempuan korban yang kerap mengalami dampak berlapis,” ujar Mariana Amiruddin, Wakil Ketua Komnas Perempuan dalam siaran persnya, Rabu (18/7/2024).
“Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan dalam upaya penyelesaian tersebut dengan melibatkan masyarakat, ahli, dan komunitas,” tambahnya.
Bagi Komnas Perempuan, keadilan bagi perempuan tidak hanya terbatas pada konteks kejahatan dalam peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang berat. Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan, menjelaskan bahwa perempuan sering kali menjadi target dari peristiwa tersebut dan mengalami dampak berlapis, terutama dalam ruang-ruang privat seperti kekerasan seksual yang pelakunya sering kali adalah orang terdekat.
“Perempuan tidak hanya mengalami dampak, tetapi juga sering kali menjadi target dari peristiwa tersebut. Keadilan bagi perempuan dalam ruang-ruang privat yang kadang sulit diungkap, seperti kekerasan seksual, juga perlu diperhatikan karena pelakunya adalah orang-orang terdekat yang seharusnya melindungi atau memiliki kuasa atas dirinya,” jelas Theresia Iswarini.
Untuk itu, kebijakan dan mekanisme penanganan pelanggaran HAM yang berat harus memastikan lapisan-lapisan dari setiap peristiwa dan dampak yang lebih luas, serta melibatkan perempuan secara genuine dalam setiap tahap penyelesaian, baik melalui mekanisme non yudisial maupun yudisial.
Komnas Perempuan mendesak negara melalui Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, membentuk Pengadilan HAM Adhoc, serta memastikan terpilihnya Hakim HAM Adhoc yang mampu bekerja dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan integritas tinggi, yang saat ini prosesnya masih berlangsung di Mahkamah Agung.
“Selain itu, terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang berdimensi seksual, negara juga harus memastikan keadilan bagi mereka diperoleh dengan prinsip-prinsip penanganan korban sebagaimana tertuang dalam mekanisme HAM, baik nasional maupun internasional,” tutup Satyawanti Mashudi, Komisioner Komnas Perempuan.