Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Penetapan Meila Nurul Fajriah sebagai Tersangka
Berita Baru, Yogyakarta – Penetapan Meila Nurul Fajriah, seorang pengacara dari LBH Yogyakarta, sebagai tersangka oleh Polda Daerah Istimewa Yogyakarta telah menuai kecaman dari berbagai organisasi masyarakat sipil. Meila ditetapkan sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik setelah mendampingi 30 korban kekerasan seksual.
Kasus ini bermula pada tahun 2020 ketika LBH Yogyakarta, di mana Meila berperan sebagai pengacara, mendampingi 30 korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh IM, seorang alumni Universitas Islam Indonesia (UII). IM melaporkan Meila ke kepolisian setelah LBH Yogyakarta mengungkapkan nama lengkapnya dalam konferensi pers kala itu. Pada 24 Juni 2024, Polda DI Yogyakarta menetapkan Meila sebagai tersangka pencemaran nama baik.
Pelaporan terhadap Meila teregister dengan nomor LP/B/0972/XII/2021/SPKT Polda DIY tanggal 28 Desember 2021. Sementara penetapan status tersangka tertanggal 24 Juni 2024. Perbuatan Meila dianggap telah memenuhi unsur Pasal pencemaran nama baik di Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 45 ayat 3 juncto Pasal 27 ayat 3.
Koalisi Lembaga Masyarakat Sipil, yang terdiri dari berbagai organisasi termasuk Kontras, LBH APIK, Amnesty International Indonesia, Kalyanamitra dan Jaringan Perempuan Yogyakarta, mendesak kepolisian untuk menghentikan proses hukum terhadap Meila. Dalam acara konferensi pers yang diadakan pada Kamis (25/7/2024), Direktur Eksekutif Kalyanamitra Ika Agustina menyatakan bahwa kriminalisasi terhadap Meila merupakan serangan serius terhadap perempuan pembela hak asasi manusia (HAM) dan pendamping korban kekerasan seksual.
“Kriminalisasi ini merupakan serangan serius terhadap perempuan pembela hak asasi manusia (HAM) dan pendamping korban kekerasan seksual. Tindakan ini mencederai hak impunitas yang dimiliki advokat pemberi bantuan hukum dan pendamping korban sesuai undang-undang yang berlaku,” ujar Direktur Eksekutif Kalyanamitra Ika Agustina, yang membacakan pernyataan sikap mewakili koalisi masyarakat sipil.
Menurut LBH Yogyakarta, penetapan tersangka terhadap Meila adalah langkah mundur dalam upaya negara untuk menghapus kekerasan seksual. Direktur LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia, menjelaskan bahwa Meila menjalankan tugasnya sesuai dengan keputusan lembaga dan fakta yang ada. “Apa yang dilakukan Meila adalah bagian dari keputusan lembaga, bukan tindakan pribadi,” katanya.
Ketua YLBHI Muhamad Isnur juga mengkritik tindakan kepolisian, berharap mereka menimbang ulang penyidikan kasus ini karena dapat mengancam keadilan. “Meila adalah advokat, bagian dari upaya penyintas dan korban memenuhi keadilan. Ini ancaman nyata terhadap keadilan dan penegakan hukum itu sendiri,” katanya.
Nursyahbani Katjasungkana, Ketua Pembina YLBHI sekaligus Ketua Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia, juga mengutuk keras tindakan polisi terhadap pembela HAM. Ia menekankan bahwa kasus ini menjadi momentum untuk memperjuangkan undang-undang perlindungan bagi pekerja HAM di Indonesia, mengacu pada deklarasi PBB sejak 1998.