Koalisi Masyarakat Desak Pemerintah dan DPR Ratifikasi Konvensi Perlindungan dari Penghilangan Paksa
Berita Baru, Jakarta – Pada peringatan Hari Korban Penghilangan Orang secara Paksa Internasional kemarin Jum’at (30/8/2024), Koalisi Indonesia Anti Penghilangan Paksa kembali mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk segera meratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED). Hingga kini, Indonesia masih belum memiliki payung hukum yang melindungi warga negara dari praktik penghilangan paksa.
Sebagaimana diuraikan dalam artikel KontraS yang terbit pada Jum’at (30/8/2024), Hari Korban Penghilangan Orang secara Paksa Internasional yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 2011 menjadi momen penting untuk mengingatkan dunia akan bahaya dan kejahatan penghilangan paksa yang terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di tanah air, praktik ini telah terjadi sejak era Orde Baru dan bahkan terus berlanjut hingga masa reformasi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat setidaknya sembilan kasus besar pelanggaran berat HAM yang melibatkan penghilangan paksa, termasuk Peristiwa 1965-1966 dan Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998.
“Praktik penghilangan paksa masih menjadi momok di tengah masyarakat kita. Hingga hari ini, Indonesia masih belum meratifikasi ICPPED, yang artinya negara belum memiliki komitmen kuat untuk menghentikan praktik ini dan melindungi warga negaranya,” ungkap perwakilan Koalisi Indonesia Anti Penghilangan Paksa dalam konferensi pers yang digelar pada 30 Agustus 2024.
Meski Indonesia telah menandatangani ICPPED pada 27 September 2010, hingga kini ratifikasinya belum disahkan menjadi undang-undang. Padahal, meratifikasi konvensi tersebut sangat penting untuk mengisi kekosongan hukum di Indonesia terkait penghilangan paksa. “Ratifikasi ICPPED tidak hanya akan memberikan perlindungan hukum kepada semua orang dari penghilangan paksa, tetapi juga memperlihatkan keseriusan negara dalam menegakkan HAM di Indonesia,” tambahnya.
Koalisi Indonesia Anti Penghilangan Paksa juga menyoroti pola baru penghilangan paksa yang dikenal dengan istilah short-term enforced disappearances, yang pernah terjadi pada massa aksi Reformasi Dikorupsi 2019 dan Tolak Omnibus Law 2020. Praktik ini semakin menunjukkan bahwa penghilangan paksa masih terjadi dan terus menghantui masyarakat Indonesia.
“Praktik penghilangan paksa, baik jangka panjang maupun pendek, harus segera dihentikan. Presiden dan DPR RI harus segera mengesahkan RUU Perlindungan dari Penghilangan Paksa untuk memastikan tidak ada lagi warga negara yang hilang secara paksa dan tidak jelas nasibnya,” tegas mereka.
Selain mendesak ratifikasi ICPPED, Koalisi Indonesia Anti Penghilangan Paksa juga meminta Presiden Joko Widodo untuk membentuk Komisi Orang Hilang guna melakukan pencarian terhadap orang-orang yang hilang, serta mendirikan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Penghilangan Paksa 1997-1998, sesuai rekomendasi Panitia Khusus DPR RI.
“Kami menuntut pemerintah untuk serius dalam menangani kasus penghilangan paksa dan tidak memberikan impunitas kepada para pelaku. Ini adalah bentuk tanggung jawab negara terhadap rakyatnya,” kata perwakilan koalisi.
Dengan belum disahkannya RUU Ratifikasi ICPPED, Koalisi Indonesia Anti Penghilangan Paksa menilai bahwa DPR RI tidak mengutamakan kepentingan rakyat. “Pembahasan RUU ratifikasi perjanjian internasional seharusnya menjadi prioritas, tetapi nyatanya DPR lebih sibuk dengan legislasi yang berpihak pada oligarki,” pungkasnya.