Kerentanan Pangan adalah Keniscayaan, Kala Pertanian Dihancurkan
Pengkampanye di Walhi Jatim dan Redaktur Pelaksana di Coklektif.com
Semakin hari dampak dari pandemi Covid-19 begitu sangat terasa, di mana banyak rakyat Indonesia yang mulai terkena imbas atas situasi ini, khususnya kelompok buruh, pekerja informal dan kelompok miskin perkotaan. Situasi pun semakin pelik jika melihat kondisi terkini, faktanya hampir dari tujuh juta buruh di-PHK dan dirumahkan selama wabah ini menyerang.
Problem lain yang mengerikan adalah persoalan kerentanan pangan yang ada di depan mata. Di mana pasokan pangan dirasa mengalami suatu situasi yang tidak jelas. Pemerintah pada satu sisi menyatakan stok pangan aman, tetapi pada sisi lainnya mengatakan rentan. Mulai banyak pernyataan-pernyataan seputar isu pangan, mulai dari mewacanakan sagu sebagai makanan substitusi beras hingga meminta pembukaan lahan sawah baru.
Jelas-jelas kondisi tersebut memunculkan sebuah dilema, mungkin kita bisa berkunjung ke Merauke, di mana ada proyek pangan skala besar yang bernama MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang dicanangkan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Proyek ini sendiri membuka hutan untuk lahan seluas 1.283.000 Ha dan dikerjakan oleh korporasi. Pada era Jokowi, proyek ini dijalankan dengan klaim mampu memenuhi sektor pangan, namun faktanya malahan kini berencana membuka lahan sawah baru di Kalimantan, khususnya di lahan gambut.
Tentu, proyek ini seakan-akan menunjukan jika pembangunan berbasis investasi masif dan industri besar telah menimbulkan kerentanan tersendiri. Bahkan pernyataan menggunakan sagu sebagai substitusi merupakan pengakuan atas kesalahan yang dibuat oleh pemegang kebijakan sendiri. Akibatnya hutan yang telah menyediakan makanan, keseimbangan dan kehidupan rusak begitu saja. Malahan menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi negara. Seperti rusaknya lahan produktif, menurunnya kualitas air dan udara, tentu selain pandemi rakyat harus bertaruh nyawa akibat hak hidup yang sehat dan berkwalitas dirampas.
Problem Pertanian tidak Sederhana
Menyoal pernyataan sebauh artikel berjudul “Nestapa Buruh dan Kewajiban Pemerintah di Tengah Pandemi Covid-19” tentu cukup kontraproduktif dengan situasi terkini, di mana apa yang disampaikan hanya retorika. Sebab mengacu pada uraian saya di atas, problem nestapa buruh baik manufaktur hingga tani dan nelayan adalah kontraproduktifnya kebijakan pemerintah dengan situasi di lapangan dan tidak sinkronnya kebijakan dengan konsitusi yakni UUD RI 1945, terlebih secara general pasal 28 dan 33.
Dalam artikel yang ditulis oleh saudari Luluk Nur Hamidah, menyatakan buruh tani mengalami problem otomasi di mana kerja mereka mulai digantikan mesin, hingga membahas terkait nasib buruk buruh nelayan yang terjerat utang. Mungkin di sini artikel tersebut melupakan diferensiasi petani dan nelayan dan melupakan kelas sosial. Di mana mengapa buruh tani tergusur oleh otomasi, sebab mereka tidak punya lahan, tentu kondisi ini sangat jauh dari prinsip pasal 33 yang terekam dalam UUPA No. 5/60, di mana negara wajib melaksanakan reforma agraria. Di satu sisi penulis luput soal ketimpangan lahan yang menjadi problem utama di sini.
Selain itu tawaran dalam artikel tersebut adalah transmigrasi, tentu ini cukup mencengangkan. Di mana transmigrasi bukan jawabab sesungguhnya, sebab program ini muncul salah satunya untuk mengurangi populasi pada di Jawa dan secara ide umum adalah relokasi atas lahan pertanian yang tercerabut untuk perluasan industri. Tentu apa yang ditawarkan jauh dari realitas dan alih-alih mendorong kesejahteraan, sebenarnya malah membenarkan ketimpangan itu sendiri. Kondisi ini juga relevan jika praktik Perhutanan Sosial juga masih carut marut, tidak benar-benar dijalankan untuk mengurangi ketimpangan. Padahal Perhutanan Sosial adalah solusi moderat untuk mengurangi ketimpangan, tapi nyatanya tidak, masih banyak problem.
Berbicara ketimpangan tentu erat kaitannya dengan kerentanan pangan, sebab ketika lahan-lahan dimonopoli oleh HGU dan IUP, lahan produktif berkurang maka konversi profesi menjadi meluas. Muncul buruh-buruh baru dari proses alih fungsi lahan. Dan, tentunya jika direlasikan dengan proyek pangan di lahan gambut dan hutan yang disulap menjadi lahan sawah. Artinya di satu sisi membenarkan alih fungsi lahan produktif untuk industri dan di satu sisi mengiyakan deforestasi, serta perusakan ekosistem. Tentu yang terdampak tidak hanya kaum adat yang sudah berdaulat atas pangannya, tetapi juga aneka flora dan fauna juga menjadi korban.
Tak mengherankan jika membaca hal tersebut cukup kontraproduktif, alih-alih ide yang hebat, tapi hanya pembenaran atas eksploitasi banal yang sedang terjadi. Perlu diketahui, mengapa kala pangan kita rentan sesungguhnya erat relevansinya dengan perampasan ruang dan hak rakyat. Jika merujuk dari analisis atas data BPS, dalam rentang 1990-2018 kontribusi pertanian pada PDB menurun sangat drastis dari awalnya 22,09% menjadi hanya sekitar 13%.
Kondisi ini pun terekam pada menurunnya serapan tenaga pertanian dari awalnya 55,3% menjadi hanya 31% pada periode yang sama. Kondisi ini menunjukan bahwa pertumbuhan sektor pertanian mengalami penurunan yang drastis. Di tambah mengapa banyak konversi pekerjaan, penelitian dari CIPS menyebutkan bahwa dari 264 juta penduduk Indonesia, profesi petani hanya tersis 4 juta saja. BPS juga mencatat pada 2018, tenaga kerja di sektor pertanian berada diangka 38,7 juta orang. Lalu selama lima tahun terakhir, jumlah angkatan kerja semakin mengalami penurunan secara gradual.
Secara dasar problem migrasi petani lebih jauh dikatakan sebagai proses deagrarianisasi, atau jika merujuk pada istilah yang menggambarkan proses pemindahkan struktur masyarakat dari mode agraria ke arah yang lain (Bryceson, 1996). Proses pemindahan tersebut, menjadi potret serius dalam hal membaca ketimpangan dan mengapa ada deagrarianisasi. Sebab deagrarianiasai sendiri adalah proses naiknya rekonsentrasi lahan dan ketidakadilan pada akses lahan, sebab dikuasai dalam skala besar oleh aktor tunggal seperti korporasi (Borras dkk, 2012).
Proses-proses tersebutlah yang seharusnya menjadi concern atau fokus pembahasan secara filosofis oleh pemegang kebijakan. Jika merujuk pada mengapa ketimpangan itu tidak hilang dan terus menerus menjadi problem, hingga menimbulkan banyak konflik serta berimplikasi pada kerentanan pangan. Menyitir Gunawa Wiradi (2009) Di Indonesia terdapat sebuah ketimpangan yang berasal dari incompatibility atau ketidakselarasan. Yakni, ketimpangan dalam hal struktur kepemilikan dan penguasaan lahan, ketimpangan dalam konteks peruntukan tanah dan ketidakselarasan persepsi terkait konsepsi agraria.
Lebih lanjut gambaran kasar ketimpangan terekam dalam artikel Teddy Lesmana (September, 2010), ia menjelenterehkan bahwa pada tahun 1983 populasi petani gurem yang mengelolah lahan di bawah 0,5 Ha ada sekirar 40,8 persen. Satu dekade kemudian, petani gurem meningkat menjadi 48,5 persen. Lahan yang dikelola petani gurem lambat laun juga semakin mengecil dari 0,26 Ha menjadi hanya sekitar 0,17 Ha. Lalu, berdasarkan data dari BPS jumlah petani gurem pada rentang 1993 hingga 2003, mengalami peningkatan sebesar 2,6 persen per tahunnya. Lalu bagaimana dengan hari ini? Berapa populasi buruh tani? Jika melihat pernyataan ATR/BPN yang menyebutkan jika ada sekitar 150 Ha sampai 200 Ha yang beralih fungsi setiap tahunnya, apalagi lahan produktif sawah menurut Kementan tinggal 7.4 juta Ha.
Tawaran Tanding Atas Respons
Lalu bagaimana menjawab soal ini, maka saya kembalikan ke perspektif awal, bahwa wabah ini menunjukan persoalan buruknya kebijakan yang berbasis realitas dan terlampau berfokus pada investasi dan industri yang sifatnya rakus hutan dan lahan. Apalagi pasca disahkannya RUU Minerba hingga masih adanya wacana Omnibus Law yang mengancam keberadaan lahan produktif dan daya topangnya. Alih-alih menguatkan pangan, sebenarnya sedang menuju bunuh diri dengan tata ruang pro pasar, khas negara neolib.
Solusi lain, penulis tertarik pada pendekatan Babin (2019), bahwa deagrarianisasi dapat diidentifikasi sebagai hasil dari proses diversifikasi mata pencaharian adaptif atau maladaptif dari pertanian. Lebih lanjut ia mengungkapkan, maka untuk menanggulanginya konsep repeasantisasi menjadi penting. Repeasantisasi merupakan proses ketika rumah tangga petani penghasil komoditas “memperjuangkan otonomi dan bertahan hidup dalam konteks perampasan dan ketergantungan” melalui penekanan pada produksi subsisten (Van Der Ploeg, 2009).
Repeseantisasi ini ditandai oleh adopsi luas pertanian melalui input eksternal (otonomi/mandiri) rendah yang didorong oleh norma-norma budaya swasembada dan fleksibilitas tenaga kerja dalam rumah tangga pertanian. Guna memastikan kesetaraan dan kelangsungan hidup rumah tangga perdesaan di masyarakat yang dirusak oleh deregulasi komoditas, bantuan dan pelatihan perlu ditargetkan ke rumah tangga miskin sumber daya lahan di dua bidang utama, yakini: pertama, untuk mengalihkan mata pencaharian di luar pertanian ke kegiatan yang stabil dan pengembalian tinggi dan; kedua, untuk memberikan pengetahuan agroekologis dan sumber daya bagi rumah tangga petani untuk swasembada dan menjauhkan diri dari pasar (Babin, 2019).
Artinya pandangan Babin ini sifatnya mengembalikan subsistensi petani, sebab pandangan tersebut bisa eksis kala ada jaminan dari negara dan lebih radikal lagi merombak struktur ekonomi yang ada sekarang, kembali ke filosofi dasar republik ini, yang sudah tersedia dalam UUD RI 45. Tidak mudah, sebab kala kepentingan oligarki masih eksis dan politik sifatnya transaksional, sehingga kehilangan ruh deliberatif atau musyawarah. Kondisi mencapai konsep ideal yakni berdaulat atas pangan dan keberlanjutan lingkungan akan susah diwujudkan.
Terakhir, legislatif dan eksekutif lebih baik fokus urusi pandemi dan membuka pemikirannya tentang apa itu keberlanjutan pangan, dari pada membuat kebijakan yang kontraproduktif.
Referensi
Babin, N. (2020). Class differentiation, deagrarianization, and repeasantization following the coffee crisis in Agua Buena, Costa Rica. Journal of Agrarian Change, 20(1), 113-136. |
Bryceson, D. F. (1996). Deagrarianization and rural employment in sub-Saharan Africa: a sectoral perspective. World development, 24(1), 97-111. |
Lesmana, Teddy. (September, 2010). Land Reform and Pengentasan Kemiskinan: Pelajaran dari China. Diakses dari lipi.go.id |
Van der Ploeg, J. D. (2009). The new peasantries: struggles for autonomy and sustainability in an era of empire and globalization. Routledge. |
White, B., S. M. Borras, Jr, R. Hall, I. Scoones and W. Wolford (2012) ‘The new enclosures: critical perspectives on corporate land deals’, Journal of Peasant Studies, 39(3/4): 619–47. |
Wiradi, G. (2009). Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir Edisi Revisi. Bandung: Kerjasama Sajogyo Institute, Akatiga, dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). |