Kemendagri: Korupsi Gubernur Kepri Akibat Swasta
Beritabaru.co, Jakarta. β Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, Nurdin Basirun, tiba di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada pukul 14.14 WIB bersama enam orang yang diduga terlibat dalam kasus suap perijinan rencana reklamasi.
Keenam orang itu adalah staf DKP Provinsi Kepri, Aulia Rahman; Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP, Budi Hartono; Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Edy Sofyan; Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Pertanahan, Abu Bakar; dan pengusaha asal Kabupaten Karimun, Andreas Budi Sampurno; dan supir Edy Sofyan, Muhammad Salihin.
Setiba di Gedung Merah Putih, Nurdin yang mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru dongker tersebut melakukan aksi tutup mulut. Tidak ada satu pertanyaan awak media pun yang ia tanggapi.
Kekayaan Nurdin Rp5,87 Miliar
Berdasarkan hasil penelusuran redaksi beritabaru.co melalui kanal acch.kpk.go.id, Nurdin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) terakhir kali pada 29 Mei 2018.
Dalam LHKPN KPK tersebut, Nurdin tercatat memiliki kekayaan mencapai Rp5,873 miliar. Jumlah itu terdiri dari harta bergerak dan tidak bergerak. Harta tidak bergerak, Nurdin tercatat memiliki aset berupa tanah dan bangunan yang tersebar di Kabupaten Karimun, Kepri, yang totalnya mencapai Rp4,461 miliar.
Adapun harta bergerak yang dilaporkan Nurdin yakni senilai Rp370 juta terdiri dari Honda CR-V Tahun 2005, Toyota New Camry Tahun 2011, dan Honda CR-V Tahun 2012. Nurdin juga memiliki harta bergerak lainnya dengan jumlah Rp460 juta. Mantan Bupati Karimun itu juga tercatat miliki kas dan setara kas lainnya senilai Rp581,691 juta.
Jebakan Swasta
Penangkapan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau diduga erat berkaitan dengan menerima suap atas izin lokasi rencana reklamasi. Fakta tersebut menjadi bukti buruknya integritas kepala daerah yang mendapatkan dukungan sponsor dari pihak swasta ketika mengikuti Pemilukada.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar Baharuddin, menjelaskan bahwa peran swasta memberikan pengaruh terhadap kepala daerah yang tertangkap karena kasus korupsi.
βIni pekerjaan rumah kita yang harus diselesaikan bersama dari pemerintahan. Sistem pengawasan juga harus diperketat,β tutur Bahtiar di Jakarta. [Priyo Atmojo]