Kebohongan Hijau di Balik Proyek Industri Kalimantan Utara
Berita Baru, Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil SETARA (Selamatkan Kalimantan Utara) yang terdiri dari NUGAL Institute, Perkumpulan Lingkar Hutan Lestari (PLHL), Greenpeace Indonesia, Celios, EN, dan JATAM Kaltim, bersama perwakilan warga terdampak, meluncurkan laporan berjudul “Kebohongan Hijau; Potret Ancaman Daya Rusak, Oligarki dan Keselamatan Rakyat pada Tapak Proyek Kawasan Industri Hijau Kalimantan Utara” pada diskusi yang digelar Rabu (10/7/2024) kemarin.
Laporan tersebut mengungkap bahwa di balik klaim proyek Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI-KIPI) yang dikatakan akan menerapkan teknologi hijau dan energi terbarukan, terdapat berbagai kebohongan dan ancaman besar terhadap lingkungan serta mata pencaharian rakyat. Proyek yang dikelola PT Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI) di Tanah Kuning-Mangkupadi, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, mempromosikan efisiensi sumber daya dan pengurangan jejak karbon, namun kenyataannya sangat berbeda.
Athiqah Nur Alami, Kepala Pusat Riset Politik, menyatakan bahwa proyek ini hanya topeng untuk menguasai lahan secara besar-besaran dan tetap bergantung pada batu bara.
“Jumlah air yang dipakai dan air limbah yang ditinggalkan amat banyak, termasuk mengenai urusan pemenuhan pasokan energi yang masih bersumber dari PLTU batu bara,” jelasnya.
Penelusuran dalam laporan ini menunjukkan bahwa proyek tersebut tidak hanya membutuhkan lahan besar, tetapi juga rakus air dan energi. Industri ini akan menggunakan 11,404 GWh listrik setiap tahunnya, sebagian besar berasal dari batu bara.
“Kebutuhan 27,6 juta ton batu bara setiap tahunnya setara dengan produksi 37 Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara di seluruh Kalimantan Utara,” tambah Athiqah.
Selain itu, proyek ini akan merampas air dari Sungai Pindada dan Sungai Mangkupadi Tawar, serta Sungai Kayan Bulungan, dengan kebutuhan air mencapai 39.450.560 kubik per tahun. “Jumlah itu setara dengan pemakaian air 1,5 tahun bagi sekitar 700 ribu penduduk Kalimantan Utara,” ungkap Athiqah.
Laporan ini juga mengungkapkan bahwa proyek ini didukung oleh kekuatan politik dan bisnis untuk memuluskan jalannya. Revisi terhadap tata ruang daerah dilakukan untuk mengakomodir rencana perluasan proyek, dengan dampak negatif pada kawasan perikanan, wisata pantai, dan lahan pertanian.
Sejumlah nama tokoh penting seperti Garibaldi Thohir, yang memiliki lahan konsesi sawit besar di kawasan ini, disebut-sebut mendapatkan keuntungan besar. “PT Adaro melalui anak usahanya sedang membangun smelter aluminium dan PLTU di KIHI, yang bertentangan dengan agenda pemerintah untuk mempensiunkan PLTU batu bara,” jelas laporan tersebut.
Sepanjang tahun 2023, delapan modus perampasan tanah dan ruang hidup warga telah teridentifikasi, mulai dari perubahan nilai jual objek pajak secara signifikan hingga intimidasi terhadap pemilik tanah. “Koalisi SETARA dan warga terdampak mendesak pembatalan proyek ini dan meminta evaluasi serta audit menyeluruh oleh otoritas terkait,” ujar Athiqah.
Koalisi juga mendesak para investor, perbankan, dan lembaga keuangan yang terlibat untuk berhenti mendukung proyek ini demi menjaga reputasi mereka dan menghindari praktik greenwashing serta kejahatan iklim. “Proyek ini harus dievaluasi kembali menggunakan protokol Hak Asasi Manusia (HAM), Perburuhan, dan Lingkungan Hidup,” tegas Athiqah.