Kebijakan Zakat pada Masa Khulafaur Rasyidin dan Perannya di Indonesia
Oleh: Zainal Muttaqin*
Berita Baru, Kolom – Zakat pada dasarnya memiliki arti tumbuh, berkembang, menyucikan, dan membersihkan. Dalam istilah, zakat memiliki makna memberikan sebagian kekayaan (harta) dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu, sebagaimana yang telah diterapkan dalam aturan Islam (Fitriani, 2015).
Berbagai kebijakan mengenai zakat tentunya sudah diatur pada masa Rasulullah dan dikembangkan oleh Khulafaur Rasyidin. Tujuannya untuk mengentaskan kemiskinan dan membangun perekonomian umat. Lantas, apa saja kebijakannya?
Pertama Abu Bakar Ash-Shiddiq. Pada masa ini, Abu Bakar diangkat sebagai khalifah pascameninggalnya Rasulullah. Di era kepemimpinannya, terdapat permasalahan-permasalahan baru, seperti munculnya para pembangkang yang tidak mau membayar zakat.
Para pembangkang ini muncul disebabkan adanya hasutan bahwa hanya Rasulullah saja yang berhak memerintah untuk melakukan pemungutan zakat. Akan tetapi, berkat ketegasan dari Abu Bakar, para pembangkang tersebut akhirnya bisa teratasi dan kemudian masyarakat mulai tertib lagi untuk membayar zakat.
Kebijakan Abu Bakar mengenai zakat yaitu seperti membela hak-hak fakir miskin dan golongan-golongan ekonomi lemah. Kemudian tidak membeda-bedakan, dengan maksud bahwa semua masyarakat berhak memperoleh zakat, apabila kondisi kehidupannya membutuhkan serta masuk ke dalam kelompok asnaf atau penerima zakat yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 60.
Kedua yaitu Umar Bin Khattab. Beliau merupakan penerus khalifah setelah meninggalnya Abu Bakar. Langkah yang dilakukan Umar untuk menyelenggarakan zakat yaitu dengan cara melantik amil-amil yang siap ditugaskan untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.
Umar melakukan pendistribusian zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya, kemudian apabila terdapat sisa, maka diberikan kepada khalifah. Selain itu, distribusinya juga digunakan untuk pelayanan militer, pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif, pendidikan, dan pengembangan Islam serta jaminan sosial.
Ketiga yaitu Utsman Bin Affan. Pada masa kepemimpinannya, kondisi perekonomiannya boleh disebut makmur. Terkait zakat, tidak ada perubahan kebijakan sama sekali dengan khalifah sebelumnya, di mana Usman tinggal melanjutkan kebijakan-kebijakan yang sudah dilaksanakan pada periode sebelumnya. Dalam hal ini, Usman melantik Zaid bin Tsabit untuk mengelola dana zakat.
Pada waktu itu, Usman pernah memerintahkan Zaid untuk membagi-bagikan harta kepada yang berhak, namun pada saat itu masih tersisa seribu dirham. Lantas Usman menyuruh Zaid untuk membelanjakan sisa dana tersebut, agar digunakan untuk membangun dan memakmurkan masjid Nabawi.
Keempat pada masa Ali Bin Abi Thalib. Terobosan yang telah dilakukan Ali di antaranya seperti memberhentikan para pejabat yang melakukan tindakan korupsi. Ali juga menerapkan prinsip pemerataan, di mana beliau memberikan santunan yang sama kepada setiap orang tanpa memandang status sosial atau kedudukannya di dalam Islam.
Oleh karena itu, Ali dalam kepemimpinannya juga memiliki kebijakan bahwa seluruh pendapatan negara yang disimpan dalam Baitul Mal harus didistribusikan kepada kaum muslimin, tanpa ada sedikitpun dana yang tersisa.
Dari penjelasan keempat khalifah di atas, dapat diambil poin penting bahwa tujuan utama dari zakat adalah untuk kesejahteraan masyarakat dan negara. Lantas, bagaimana dengan peran zakat di Indonesia?
Secara umum zakat terbagi menjadi dua (2) jenis: zakat fitrah dan zakat mal. Zakat fitrah memiliki hukum wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan yang merdeka, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.
Adapun mengeluarkan zakat mal bagi yang sudah memenuhi syarat hukumnya adalah wajib. Zakat mal juga memiliki berbagai jenis, di antaranya yaitu zakat penghasilan, zakat emas dan perak, zakat perusahaan, zakat perdagangan, zakat saham, zakat reksadana, zakat rikaz, dan lain sebagainya.
Dari kedua jenis zakat di atas, menurut Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), pendistribusian zakat dilakukan dengan empat program utama yaitu (1) pendidikan, (2) kesehatan, (3) kemanusiaan, (4) dakwah dan advokasi.
Adapun pendayagunaan zakat difokuskan pada tiga program yang saling beriringan dengan program pendistribusian yaitu (1) ekonomi, (2) pendidikan, dan (3) kesehatan.
Dengan demikian, peran zakat di Indonesia pada praktiknya bukan hanya tentang pengentaskan kemiskinan saja, melainkan untuk pendidikan, kesehatan, kemanusiaan, dakwah, dan advokasi serta ekonomi.
Di sisi lain, zakat kini juga berperan penting sebagai instrumen yang mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan/ SDGs. Terdapat 17 program SDGs yang telah ditetapkan sampai pada tahun 2030. Mulai dari mengakhiri kemiskinan hingga menguatkan sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan.
Sebagai informasi, bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan/SDGs merupakan satu kesepakatan masyarakat dunia untuk mewujudkan dunia yang terbebas dari kemiskinan, berkehidupan yang bermartabat, adil, dan sejahtera, serta saling bekerjasama di antara mereka (Faizin et al., 2018).
Semoga dengan hadirnya zakat, bisa memberikan kesadaran untuk masyarakat bahwa dengan berkontribusi melalui zakat berarti juga membantu akan kesejahteraan umat manusia. Hal ini pun sesuai dengan sila Pancasila kelima yaitu kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
*Penulis adalah Mahasiswa Magister Ekonomi Syariah dan Penerima Beasiswa Riset BAZNAS Republik Indonesia.