Kebijakan Integrasi Tata Ruang Darat dan Laut Pinggirkan Masyarakat Pesisir
Berita Baru, Jakarta – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) menyatakan bahwa kebijakan integrasi tata ruang darat dan laut semakin meminggirkan masyarakat pesisir. Kebijakan ini, yang diamanatkan oleh UU No.6/2023 tentang Cipta Kerja, cenderung mempermudah investasi bagi korporasi.
Dalam kajiannya, KIARA dan JKPP menemukan bahwa dari 21 Kawasan Strategis Nasional (KSN) dengan lanskap pesisir, hanya 9 yang sudah menetapkan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN). Sementara, integrasi Rencana Tata Ruang Laut Nasional (RTRLN) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) belum terlaksana.
“Keberadaan ruang-ruang Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (MAKL) tidak terakomodir dalam kebijakan ini, namun ruang-ruang investasi semakin bertambah luas,” kata Fikerman Saragih, Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA, dalam peluncuran kajian di Jakarta pekan lalu yang dikutip dari Mongabay, Senin (5/8/2024).
Fikerman menjelaskan bahwa dalam Perda RTRW Provinsi terintegrasi yang telah ditetapkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), masyarakat adat kehilangan kewenangan untuk melakukan monitoring dan evaluasi kawasan konservasi maritim. Kini, peran itu tidak lagi disebutkan.
Sebaliknya, laporan KIARA dan JKPP menunjukkan bahwa Perda tersebut mengalokasikan ruang bagi pertambangan dan energi di pesisir Kaltim seluas 48.853 hektar, serta reklamasi 709,23 hektar di zona perdagangan barang dan jasa. “Masyarakat belum sepenuhnya tahu tentang situasi ini. Kami khawatir ketika kebijakan ini dijalankan, akan merampas ruang masyarakat,” tambah Fikerman.
Situasi serupa terjadi dalam penyusunan draf RTRW Provinsi terintegrasi di Sulawesi Tenggara (Sultra). Dalam Perda RZWP3K, masih terdapat alokasi ruang Masyarakat Hukum Adat (MHA) seluas 4.307,08 hektar. Namun, alokasi ruang tersebut tidak lagi tercatat dalam draf Perda RTRW Provinsi terintegrasi Sultra.
“Partisipasi bermakna dari masyarakat itu tidak ada, khususnya bagi mereka yang terdampak kebijakan ini. Dampaknya, ruang-ruang mereka tidak diakui dalam RTRW terintegrasi. Kami mengategorikan ini sebagai perampasan ruang laut yang direncanakan,” jelas Fikerman.
Sementara itu, Ananta Maulana Nasution, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menilai tidak semua pembangunan dapat dikategorikan sebagai perampasan ruang laut. “Tidak semua inisiatif itu buruk. Kalau semua kategori kebijakan kita bilang sebagai ocean grabbing (perampasan ruang laut), maka kita tidak akan maju,” terangnya.
Menurut Ananta, perampasan ruang laut bertujuan mengeksploitasi sumber daya sesuai kepentingan aktor politik dan ekonomi, yang sering memarjinalisasi masyarakat.
Imam Mas’ud, Peneliti JKPP, menjelaskan bahwa integrasi kebijakan tata ruang ini tidak bisa dilepaskan dari UU Cipta Kerja, yang membuka ruang bagi penyederhanaan persyaratan perizinan usaha melalui mekanisme Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) dan sistem Online Single Submission (OSS).
“Upaya-upaya persyaratan dasar perizinan itu dipermudah bagi investasi melalui kebijakan KKPR yang menjadi amanat dari UU Cipta Kerja,” kata Imam.
Namun, Imam meragukan kebijakan ini dapat menyelesaikan konflik dan krisis ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. “Konflik-konflik yang ada tidak dijadikan dasar pertimbangan untuk menyusun kebijakan tata ruang,” ungkapnya.
Muhammad Ismail, Akademisi Politeknik Kelautan dan Perikanan Karawang, menekankan pentingnya memperhatikan ketentuan UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebelum menerbitkan izin, agar kelestarian ekosistem dan kesejahteraan masyarakat tetap terjaga.
“Izin-izin yang diterbitkan pemerintah seharusnya mengakomodir aspek ekonomi dan kemanusiaan secara bersamaan,” tutup Ismail.