Kapal Ponton Bermuatan Batubara Cemari Perairan Masalembu, Instansi Terkait Abaikan Laporan Warga
Jawa Timur, Berita Baru- Hampir dua bulan sebuah Kapal Ponton Woodman 37 yang mengangkut batubara terdampar dan muatannya tumpah ke perairan Masalembu, Sumenep, Jawa Timur sejak akhir Januari dan hingga pekan ini masih kandas di lokasi tersebut. Warga telah melapor ke Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur serta Gakkum namun justru diabaikan. (24/03)
Tumpahan batubara itu menyebabkan perubahan pada warna air laut di sekitar lokasi dan menyebabkan nelayan tidak bisa mencari ikan di lokasi kapal yang kandas yang memang menjadi wilayah tangkap. Pengabaian atas laporan nelayan Masalembu ini, maka dalam waktu dekat, WALHI Jawa Timur bersama masyarakat Masalembu akan kirim surat ke Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur serta Gakkum Jawa Bali Nusa Tenggara untuk bergerak mengusut dugaan pencemaran pesisir perairan Masalembu termasuk mengungkapkan kepada publik siapa pemilik batubara dan akan dibawa ke pembangkit mana muatan tersebut.
Haerul Umam, warga Pulau Masalembu bersama warga lain yang memperoleh informasi pada 15 Maret 2022, berinisiatif mengecek langsung informasi ponton yang kandas. Mereka sempat mengabadikan kondisi tongkang pada siang harinya. Ada dua kapal ponton yang terdampar termasuk Woodman 37. Sementara keterangan warga, satu ponton lain telah memindahkan muatan batubaranya ke kapal tongkang bantuan yang baru datang. Tak jauh dari ponton itu ada dua kapal tugboat yakni dengan nama lambung Dolphin dan Fortune.
Pada tanggal 18 Maret 2022, Haerul bersama warga kembali ke lokasi dan menemukan Kapal Ponton Woodman 37 telah karam setengah sementara muatannya sudah tidak ada. Ada banyak bekas tumpahan batubara di perairan sekitarnya.
Warga telah melaporkan kasus tumpahan batubara ini ke Dinas Kelautan Provinsi Jawa Timur namun tidak ada tanggapan. Warga lalu melapor ke Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur. Bukannya bereaksi cepat terkait pencemaran laut ini, warga malah diarahkan untuk membuat laporan ke bagian Gakkum Kementerian LHK. Sementara itu informasi yang diperoleh dari Kantor Syahbandar Masalembu, Kapal Ponton Woodman 37 ini mulai memasuki perairan Masalembu pada akhir Januari.
“Dari kronologi ini, Ponton Woodman 37 ini telah terdampar hampir dua bulan lamanya. Namun tidak ada tindakan atas kemungkinan tercemarnya perairan akibat tumpahan batubara ke dasar perairan. Masyarakat sangat khawatir dan meminta instansi terkait agar ini ditindaklanjuti,” kata Haerul.
Pada 21 Maret 2022, Haerul menyampaikan surat aduan kepada Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia secara online terkait dugaan pencemaran perairan Masalembu akibat tumpahan batubara dari Kapal Ponton Woodman 37 ini. Dalam surat aduan tersebut, Haerul menyampaikan bahwa banyak nelayan yang melaut di perairan Masalembu mengeluh karena air laut menjadi hitam akibat tumpahan batubara dari kapal tersebut. Haerul meminta agar aparat penegak hukum dapat segera melakukan penanggulangan agar tumpahan batubara tidak semakin mencemari perairan Masalembu. Selain itu, Haerul juga menuntut agar aparat penegak hukum dapat menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan yang menjadi pemilik Kapal Ponton Woodman 37 tersebut.
“Kami menyesalkan tidak adanya tanggapan dari Dinas Kelautan dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur. Bahkan sikap Dinas Lingkungan yang menyebut laporan itu bukan domain mereka justru menunjukkan kinerja yang buruk. Padahal pencemaran mengancam lingkungan hidup dan telah menghambat mata pencaharian nelayan Masalembu,” kata Wahyu Eka Setyawan Direktur Walhi Jawa Timur.
Kejadian tumpahan batubara ini melengkapi potret pencemaran kawasan laut dari industri energi fosil, di mana dari hulu sampai hilir telah bermasalah dengan berbagai tingkatan perusakan lingkungan. Masih basah dalam ingatan kita tumpahan minyak di pesisir utara Karawang, Jawa Barat oleh Pertamina, kemarin tumpahan oli di perairan Lampung, dan masih banyak lagi praktek pencemaran serupa baik yang sudah diketahui maupun yang belum. Sehingga tumpahan batubara di perairan Masalembu menggenapi pencemaran kawasan laut yang diakibatkan industri kotor.
“Hal ini pun menunjukkan bahwa persoalan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup masih belum menjadi prioritas, semakin menunjukkan bahwa implementasi UU PPLH No 32 Tahun 2009 belum sepenuhnya dijalankan. Apalagi ke depan dengan adanya UU Cipta Kerja, maka akan ada reduksi dari UU PPLH dalam hal pencegahan dan perlindungan, sehingga kejadian serupa mungkin akan semakin sering dan risiko kerusakan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil akan semakin rentan,” kata Taufiq Rochim, Direktur LBH Surabaya. (*)