JALA PRT: 10 Hingga 11 PRT Jadi Korban Kekerasan Setiap Hari
Berita Baru, Jakarta – Jaringan Advokasi Nasional untuk Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) menyampaikan sebanyak 10 hingga 11 Pekerja Rumah Tangga (PRT) menjadi korban kekerasan dalam sehari.
Koordinator Koalisi Sipil untuk PPRT Eva Sundari mengatakan sepanjang 2017 hingga 2022 sudah ada 2.637 kasus kekerasan terhadap PRT. Mulai dari kekerasan dalam hal upah hingga fisik, psikis dan seksual.
“Bahwa angka dari Jala PRT 10 sampai 11 orang yang melaporkan kasus yang diderita PRT yang ditipu agen, yang ditinggal di tengah jalan, yang disiksa, hanya dua yang bisa ditindaklanjuti. Artinya kalau menunda satu hari itu membiarkan 10 sampai 11 korban tidak tertangani,” kata Eva, Minggu (12/2/2023).
Menurut Eva, kasus tersebut akan terus bertambah jika pengesahan RUU PPRT semakin diundur. Sebab itu, ia mendesak RUU itu segera disahkan.
“Mudah-mudahan terketuk hati DPR untuk tidak membiarkan di meja pimpinan DPR, tapi segera di paripurnakan,” ujarnya.
Desakan terhadap pengesahan RUU PRT juga disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan RI Ida Fauziyah. Ia menyebut, PRT termasuk golongan yang rentan terhadap kekerasan.
“Pekerjaan rumah tangga ini adalah pekerjaan yang ada di dalam ruang private yang memungkinkan terjadi kerentanan terhadap para pekerja, sehingga mendesak bagi pemerintah untuk mengesahkan RUU PPRT ini menjadi undang-undang tidak lagi ada R-nya,” kata Ida.
Di sisi lain Ketua Komnas HAM Nova Atnike Sigiro menyebut PRT merupakan kelompok rentan yang kerap menerima kekerasan.
Ia menyebut lembaganya itu kerapkali menerima laporan kekerasan yang menimpa PRT, mulai dari upah tidak dibayarkan hingga kekerasan seksual.
“Pekerja rumah tangga merupakan salah satu kelompok marjinal atau kelompok rentan yang kasus-kasusnya juga banyak diadukan ke Komnas HAM,” katanya.
“Kasus-kasus yang diterima Komnas HAM terkait pekerja rumah tangga mulai dari upah yang tidak dibayarkan, kekerasan seksual, identitas keluarga maksudnya orangnya hilang tidak dapat ditemui, dan berbagai kasus-kasus lain,” imbuh Atnike.
Lebih lanjut, informalitas status dan absennya payung hukum membuat para majikan kerap bertindak sewenang-wenang.
“Itu terjadi karena mereka tidak mendapatkan status yang resmi sebagai pekerja rumah tangga sehingga hak-hak mereka sebagai seorang pekerja kerap diabaikan oleh pemberi kerja,” pungkasnya.
Sebelumnya, RUU PPRT sudah dibahas di DPR sejak 19 tahun silam. Rancangan RUU tersebut bolak balik keluar masuk dari daftar prolegnas DPR sejak 2004.
Pada 2020, pembahasan RUU tersebut rampung di Badan Legislasi dan tinggal masuk ke Badan Musyawarah (Bamus).
Setelahnya, pemerintah dan DPR bersepakat membawa draf itu ke tingkat paripurna. Namun, rencana itu pupus. Tiba-tiba RUU PPRT batal dibawa ke paripurna. Selain itu, Presiden Jokowi juga menyampaikan keinginannya agar RUU PPRT segera disahkan.