INFID Dorong Keterlibatan Perempuan dalam Pemilu: Bukan Hanya Deskriptif, Juga Substantif
Berita Baru, Jakarta – Forum on Indonesian Development (INFID) terus berupaya mendorong keterlibatan perempuan dalam pemilihan umum (pemilu). INFID melihat, sejauh ini keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia masih berada pada tataran deskriptif.
Oleh sebab itu, Program Officer International NGO INFID Rizka Antika memandang perlu menggaungkan urgensi keterlibatan perempuan dalam pemilu untuk menunjang diversitas dalam kelompok pengambil keputusan.
“Berbicara diversitas, tentunya berbicara tentang keterlibatan perempuan,” kata Rizka Antika saat menjadi pembicara dalam talkshow bertajuk ‘Menguak Minimnya Capres dan Cawapres Perempuan’ di Jakarta, Kamis (31/3).
“Itu salah satu urgensi utama kenapa perempuan harus dilibatkan menjadi pengambil keputusan. Bukan hanya menjadi perwakilan yang deskriptif, melainkan juga substantif,” sambungnya.
Menurut Rizka, salah satu cara untuk mendorong keterlibatan perempuan adalah dengan membangun optimisme melalui pembingkaian (framing) karakteristik kepemimpinan perempuan yang khas.
Ia menilai perempuan memiliki karakteristik kepemimpinan yang berempati, mau bekerja sama, kolaboratif, dan mengayomi. Namun, sayangnya hal tersebut tidak banyak dilihat sebagai karakteristik yang ideal untuk menjadi pemimpin politik.
“Salah satu yang bisa kita lakukan adalah bagaimana membangun narasi dan memberikan ruang. Sebenarnya ada beragam bentuk kepemimpinan yang bisa berhasil dalam menangani permasalahan,” ujarnya.
Dijelaskan Rizka, dorongan urgensi keterlibatan perempuan ini adalah untuk menekan hegemoni maskulinitas dalam ruang politik. Dimana politik telah didesain oleh laki-laki untuk melanggengkan hegemoni itu sendiri.
Oleh sebab itu, Rizka menegaskan bahwa perempuan harus berupaya lebih untuk masuk ke dalam ranah politik.
“Sebenarnya ketika baru mau masuk saja (ke ranah politik), itu sudah memberikan harga yang lebih besar uang akan dia bayar karena dia akan menjadi sosok yang menghancurkan hegemoni tersebut,” terang Rizka.
Ia menjelaskan bahwa keterlibatan perempuan di ranah politik juga menemui permasalahan dari segi bias pragmatis.
“Permasalahannya ada yang namanya bias pragmatis, baik dari parpol (partai politik) atau dari voters (pemilih), menilai bahwa chance (kesempatan) perempuan akan sangat sulit. Jadi, secara pragmatis mereka akan memilih laki-laki saja,” jelas Rizka.
Akan tetapi, Rizka menilai permasalahan tersebut dapat diperbaiki dengan mulai menggaungkan narasi dan membingkai kekhasan perempuan ketika memimpin.
“Framing kekhasan perempuan ini bukanlah kekurangan, melainkan malah jadi power (kekuatan). Nah, ini yang belum banyak framing-nya,” tegas Rizka.