IIQ Annur Yogyakarta Diskusikan Strategi agar Pemaknaan Al-Quran dan Hadis tidak kering
Berita Baru, Yogyakarta – Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Annur Yogyakarta menggelar seminar umum mendiskusikan strategi memahami Al-Quran secara lebih seru dan tidak kering pada Kamis (31/3)
Untuk membahas ini, pihaknya menghadirkan dua (2) pakar ilmu balagah lulusan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Mardjoko Idris dan Universitas Gajah Mada (UGM) Nur Aini.
Menurut Mardjoko, yang juga merupakan Dosen Fakultas Adab dan Ilmu Budaya (Fadib) UIN Suka, langkah yang harus dilakukan untuk menghasilkan pemaknaan terhadap Al-Quran yang seru adalah dengan tidak berhenti di makna pertama.
Mardjoko membagi makna Al-Quran menjadi dua (2), yakni makna pertama dan makna kedua.
Makna pertama adalah makna apa adanya, makna zahir, atau yang oleh Mardjoko disebut sebagai makna yang kering.
Adapun makna kedua adalah makna yang lebih berwarna, tidak tertebak, dan selalu terbuka untuk dialektika.
“Jadi, jika kita berhenti di makna pertama, maka jadinya kering, tapi kalau kita lanjut ke makna kedua, itu yang menarik,” ungkapnya.
Mengenai pembagian ini, yang Mardjoko maksud adalah pendekatan ilmu balagah atau semantika dan semiotika.
Menurut Mardjoko, antara ilmu balagah dan semantika atau semiotika tidaklah berbeda. Mereka sama. Sebab pola yang ditawarkan adalah tentang bagaimana melahirkan makna dari kata dan/atau tanda.
Mereka sama-sama meyakini bahwa suatu kata selalu memiliki makna yang lebih dari satu, tidak terkecuali adalah kata, kalimat, dan simbol atau tanda dalam Al-Quran.
Sederhananya, jika seseorang ingin mendapatkan pemahaman yang seru atas ayat-ayat Al-Quran, maka ia penting mencoba pendekatan balagah.
Antara majasi dan hakiki
Tidak berbeda jauh dari Mardjoko, Nur Aini menyampaikan bahwa untuk memahami hadis secara efektif, seseorang perlu menggunakan pendekatan semantika dan semiotika.
Kenyataan bahwa redaksi yang dipakai hadis tidak sedikit yang menggunakan bahasa majas merupakan alasan mengapa demikian.
Ketika seseorang membaca hadis, tegas Aini, ia harus jeli untuk membedakan antara apakah bahasa yang digunakan di dalamnya majasi atau hakiki.
“Jangan sampai keliru. Sebab kalau keliru, dampaknya pada makna luar biasa,” ungkap perempuan yang juga sibuk sebagai Dosen Ilmu Linguistik di Fakultas Ushuluddin IIQ Annur ini.
Aini memberi contoh tentang hadis yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah, berkenaan dengan ciri orang yang akan cepat berjumpa Nabi ketika Hari Kiamat.
Dikatakan, mereka yang akan mendapatkan keistimewaan itu adalah yang tangannya panjang.
Mendapatinya, Aisyah dan istri yang lain segera mengukur lengannya dan ternyata yang paling panjang tangannya adalah Zainab karena ia kerap sedekah dengan tangan tersebut.
Siapa pun yang tidak memiliki kesadaran semiotika pasti akan kesulitan memahami hadis ini lantaran istilah “panjang tangan” di situ bukanlah makna hakiki, tapi majasi.
“Yang jelas ini sangat penting dan seru. Pun ini masih sangat jarang dijamah oleh para peneliti. Jadi ini peluang bagi teman-teman,” ungkapnya.
Perlu diketahui, seminar yang dipandu oleh Dosen Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT) IIQ Annur Muhammad Saifullah ini diselenggarakan di aula utama IIQ Annur dengan tema Pendekatan Semantika dan Semiotika dalam Studi Al-Quran dan Hadis.
Lebih dari 50 peserta hadir dalam forum tersebut dengan protokol kesehatan yang memadai, di samping sekitar 150 peserta turut meramaikan secara daring via kanal Youtube IIQ Annur.