ICJR Dorong Transparansi Rencana Amnesti 40 Ribu Narapidana untuk Atasi Overcrowding
Berita Baru, Jakarta – Pemerinta merencanakan pemberian amnesti terhadap 40.000 narapidana sebagai upaya mengatasi masalah overcrowding di Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia. Rencana ini disampaikan oleh Menteri Hukum dalam keterangan pers yang didampingi Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kemenko Kumham Imipas) serta Menteri Hak Asasi Manusia, usai rapat di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (13/12/2024).
Menteri Hukum menjelaskan bahwa ada empat kriteria narapidana yang akan mendapatkan amnesti. Kriteria tersebut meliputi narapidana kasus tindak pidana Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait penghinaan terhadap kepala negara, narapidana yang mengidap penyakit berkepanjangan atau gangguan jiwa, pelaku makar tanpa senjata di Papua, serta pengguna narkotika yang seharusnya menjalani rehabilitasi.
“Rencana ini bertujuan untuk mengurangi beban overkapasitas di Lapas dan memberikan kesempatan reintegrasi sosial bagi narapidana,” ujar Menteri Hukum dalam konferensi pers tersebut.
Selain itu, narapidana yang memperoleh amnesti akan dilibatkan dalam program swasembada pangan dan sebagai komponen cadangan dalam situasi darurat militer. Namun, rencana ini menuai kritik dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Melalui siaran pers yang diterbitkan pada Senin (16/12/2024), ICJR mengapresiasi langkah pemerintah yang didasarkan pada prinsip kemanusiaan dan hak asasi manusia. Namun, ICJR menekankan bahwa proses pemberian amnesti harus dilakukan secara akuntabel dan transparan.
“Proses ini harus berbasis kebijakan yang dapat diakses publik agar dapat dinilai dan dikritisi,” ujar perwakilan ICJR. “Teknis pemberian amnesti harus dirumuskan dalam peraturan minimal setara peraturan menteri untuk menjamin standar pelaksanaan penilaian dan pemberian amnesti hingga pengajuan ke presiden dan pertimbangan DPR.”
ICJR juga menyoroti rencana keterlibatan narapidana dalam program swasembada pangan dan komponen cadangan. Lembaga tersebut menilai langkah ini berpotensi eksploitatif jika tidak disertai pengaturan upah yang layak.
“Jika narapidana diberi kesempatan kerja sebagai bagian dari pembinaan, maka hak atas upahnya harus dijamin. Bahkan, langkah ini seharusnya sudah dapat dilakukan tanpa perlu mendasarkan pada rencana amnesti,” tegas ICJR.
ICJR juga menggarisbawahi urgensi revisi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Lembaga tersebut menyerukan dekriminalisasi pengguna narkotika, bukan hanya mengalihkan mereka ke lembaga rehabilitasi. “Pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi harus dikeluarkan dari pemenjaraan, dan intervensi terhadap mereka seharusnya dilakukan oleh lembaga kesehatan, bukan aparat penegak hukum,” kata ICJR.
Berdasarkan data United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), hanya 13% pengguna narkotika mengalami masalah penggunaan, sementara 1 dari 9 pengguna memerlukan rehabilitasi. Oleh karena itu, ICJR menilai bahwa mewajibkan seluruh pengguna narkotika untuk rehabilitasi hanya akan memindahkan masalah overcrowding dari Lapas ke lembaga rehabilitasi.
Terkait rencana pemberian amnesti kepada narapidana kasus penghinaan terhadap kepala negara, ICJR juga menyerukan penghapusan pasal kriminalisasi penghinaan presiden dalam UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP Baru. “Jika pemerintah ingin memberikan amnesti bagi narapidana kasus penghinaan presiden, maka sudah semestinya pasal tersebut dihapus dari UU KUHP Baru,” tegas ICJR.
ICJR juga mengkritisi rencana amnesti bagi narapidana yang sakit. Menurut lembaga tersebut, pemberian amnesti tidak dapat dilakukan sembarangan karena konsekuensinya adalah penghapusan akibat hukum pidana. Sebagai gantinya, ICJR merekomendasikan pemberian grasi kepada narapidana yang melakukan tindak pidana dengan korban yang teridentifikasi. “Jika ada korban dari tindak pidana tersebut, maka pemberian grasi lebih tepat daripada amnesti,” jelas ICJR.
Di luar rencana amnesti, ICJR mengusulkan langkah-langkah konkret untuk mengatasi overcrowding di Lapas. Salah satunya adalah memperkuat implementasi KUHP Baru yang memperkenalkan alternatif pemidanaan berupa pidana pengawasan, kerja sosial, dan pidana denda. “Penguatan ini harus dilakukan secara komprehensif agar tidak terjadi overload di lembaga pemasyarakatan maupun lembaga rehabilitasi,” tutup ICJR dalam siaran persnya.