Hujan Bulan Mei | Puisi Buday AD
Hujan Bulan Mei
(Puisi, Buday AD)
Tawa Pagi
Semerbak bunga menuangkan harapan yang tak sirna
Padamu aku terjerembab cinta di kening rasa
Dari mawar yang terlempar mengenai ruangan
Tak sia-sia hasil ku dapatkan
Waktu-waktu kian berganti
Menjemput tawa
Seusai subuh menancapkan cahaya
Di antara kenikmatan alam semesta.
Engkau bilang
“Kedekatan akan lebih dikenang
Dan tenang tanpa beban menerjang,”
Sungguh benar!
Meski hutang-hutang melambung tinggi
Aku berhasil melupai
Walau sesaat akan kembali lagi.
Lubangsa Selatan, 2019
Hujan Dini Hari
Apa yang kau pahami tentang hujan?
Bila tumbuhan kering di tengah jalan
Menusuk harapan
Mematahkan ranting-ranting yang memanjang
Jatuh kedalam lautan berkarang.
Tenggelam dari air mata
Menunggangi banyak anak panah
Sebab mendung tak kunjung reda
Dari sumber masalah.
Sendiri dimakan sunyi
Melantunkan ayat ayat perih
Pada hujan dini hari
Yang sakitnya berkali kali
Menusuk pada hati.
Sakit yang kau jalani
Mengenal sebuah api pada tubuh
Yang ditinggal pergi
Dari hujan dini hari.
Annuqayah lubsel 2019
Angin Gelap
Bila mana aku memanjangkan angan
Lalu angin gelap menerpa taman
Di bukit pelaminan.
Besing tetangga merasut telinga
Dari pekerjaan mendua di gelap gua
Meraba gunung gunung yang tak berbatu
Menumpahkan susu dari lubang lubang tertentu.?
Angin gelap menghantam taman
Memisahkan pelaminan
Dari tempat kesuburan bunga mawar.
5-2-19
Angin
Aku ingin berbicara pada angin tentang kehidupan yang penting
Yang membawa perubahan akan kehidupan selanjutnya
Karena kehidupan mesti mempunyai keinginan
Walaupun permata menjadi angan.
Lubsel 2018
Menunggumu di Pantai
Kini aku menunggu di antara janji-janji
Tak bisa pulang karena harus ditepati
Ingin pulang tapi, takut di cari
Apa lagi dusta sudah di catat dosa
Meihat ombak yang kejar mengejar
Suaranya terdengar
Menyapa selamat datang kepada orang-orang sekitar
Yang duduk di bibir pantai
Di bibir pantai karang-karang terkapar
Terbawa gelombang dan arus yang menghantam
Timbul harapan
Semoga saja nasibku tak sejajar
Cemara teguh cipataanNya
Langit membiru dengan keluasannya
Angin bergemuruh atas kehendakNya
Samudera luas dengan warnanya
Inilah pantai penuh pesona
Menarik para pemuda yang ada di rumah
Untuk menikmati karya tuhan yang indah
Ingin rasanya terbang mengitari pantai
Bersama pujaan hati yang di tunggu-tunggu mulai tadi
Agar terasa dingin dan tenang hati ini
Ketika ia datang menghampiri
Membawa sebuah janji yang harus ditepati.
Lubsel 2018
Musik Hujan
Padamu aku termangu dalam alunan rindu
Memasak sebijih harapan yang jauh di pandang
Ketika bau parfummu tak lagi menyengat
Di tubuh yang terpikat.
Mengisi malam dalam dekapan bayang
Teringat musik hujan yang kian berdendang
Memanggil rindu pada seseorang
Di jarak yang memanjang.
Dingin yang menggigili penantian
Merangkul banyak harapan
Melantunkan dengan kalimat tuhan
Agar musik rindu segera dihilangkan
Pada angin yang menderu di sudut lisan.
Yang jauh mari mendekat
Yang dekat mari merapat
Agar tak teringat jika kaupergi dari pandangan yang menatap
Di tempat kita menyaksikan awan pekat
Pada musik hujan yang tak sempat kita dapat.
19-Januari-2019
Sebuah Tangis
/1/
Bila luka mendidih
Mengalirlah air yang pedih
Dari sekuntum bunga melati
Yang di tinggal pergi.
Meratapi bayang-bayang adalah caraku
Selagi luka masih tertuang di tubuh
Di antara perihal ber batu.
Saat kutahu sejak dulu
Tak mau lagi mengingat namamu
Dan tak mau lagi mencari jejak
Biarlah sajak yang mencari
Ketika kau beranjak dari hati.
Menjadi tangis
Adalah diriku yang ditinggal ibu ke pasar minggu
Kehausan ASI dan belaian tangan ibu
Adalah kebutuhan seorang anak
Dari pada orang lain, lalu datang
Menginjak-injak sampai air mata terasa asin
Tak memerlukan tangisan
Lalu membuang tanpa belas kasihan
Ketika aku tak lagi dibutuhkan.
Sungguh pedih sebenarnya
Walaupun hanya sebatas air mata
Tetapi, sakitnya berlipat ganda
Menandingi dari luka yang berdara.
/2/
Di sore hari aku duduk di beranda rumah
Sambil melihat perihal jendela kaca yang pecah
Berkeping-keping dan tajam pecahannya
Ketika aku mengingat semua seperti belahan diriku
Yang pecah,dan tak lagi memelihara cinta.
Senja kembali tempuruk ke peraduannya
Memanggil malam yang terhias bintang
Menghapus embun di kelopak mata
Yang seringkali jatu di dada
Menerangi hari yang sempat gelap
Dari karang menusuk hingga urat nadi pasrah
Terbelah menjadi dua.
2018
Kehendak Doa
Apa yang kau lakukan tentang hari yang akan datang semenjak kau pergi menuju jalan yang sempat kau tempuh tanpa batu. Jangan menyesal karena kita sudah ada yang mengatur, lebih baik jalani jalan yang kau inginkan dari pada karang di lautan menusuk pada nelayan. Sebentar lagi aku berpikir dari masalah masalah yang mengalir dan suntuk di hilir.
Namun, air masih saja bersih dari bakteri yang pasti menetes di kelopak melati, semoga saja begitu. Harapan, cita cita sudah ada pada diri manusia untuk mengapai sebuah bunga yang jarang di dapati semut yang tak mandi di sungai doa. Tanam-tanaman memberikan ke sejukan pada tubuh yang kerontang, sebab cita-cita sepanjang jalan.
Annuqayah 2019
Besi Karat
-Santri
Entahlah dari mana hasrat datang untuk pergi
Padahal hari masih terang untuk bersemayam
Di tempat yang jauh dari tusukan ilalang.
Karang,jarum masih tak kupandang
Di masa yang akan mendatang
Yang penting sekarang hanyalah kesenangan
Untuk hidup bersama ayat Tuhan.
Lubsel 2019
Matahari
Matahari bersinar setiap hari
Mencubit kulit-kulit tak bercat
Panas alasannya
Pusing penyakitnya
Matahari
Kering dengan cinta melahap pusing
Sepi di antara tawa
Merajut nama dengan hampa
Sementara luka terus menyiksa
Menganga dan sehingga menumpahkan dara.
Annuqayah, 2019
Kopi Pagi
Selamat pagi ayah
Apa yang kau pahami tentang pagi yang cahayanya berkilau di pipi?
Tentang embun yang menetas di daun talas
Tentang mentari yang mengintip untuk melihat kopi
Menghirup udara yang tiada batas
Adalah caramu ketika bangun tidur setelah jendela terbuka lebar
Bahwa pagi mengahiri malam yang bercumbu mimpi
Ketika perihal menjadi ilusi dan tak sempat kau dapati
Walau setangkai bunga melati waktu itu.
Apa yang kau pahami tentang kopi yang terhidang di meja pagi
Tentang gula sebagai pemanis
Tentang lisong sebagai pelengkap diantaranya.
Bisakah kau menikmatinya, ayah
Sebelum pagi pergi menjemput adegan dari naskah tuhan
Yang dilakoni istri tersayang.
2018
Ada Apa Ini
;Dek Meri
Kuterkejut melihatnya
Setelah saudari hilang kesadaran
Di ganti mahluk lain
Mengamuk dengan keluasannya
Berteriak sekeras-kerasnya
Membebani pada diri selaku santri
Yang tak tahu apa dari tadi
Ada apa ini
Sebelumnya masih sedingin pagi
Mandi dengan senyumnya nabi
Merias wajah yang paras purnama
Di kamar zulaikha
“Berkumpul akan ikut sama harum.”
Apa penyebabnya
Sampai marah-marah
Kayak orang gila.
Annuqayah Lubsel 2019
Biarkan
Biarkan pena berbicara
Meski tak lagi mengadu cinta
Mengadu rasa
Namun ia tetap ada bersama cita.
Bali 2018
Cinta dan Rindu
Cinta dan rindu sudah menyatu
Asmara jadi kata-kata ?
Rindu jadi cinta
Semuanya terkumpul jadi rasa.
Anuqayahy lubsel 2019
Gersang
-Ibu-ibu di rumah
Sebelum bibir menarik ?
Suara berarak
Jangan sampai melipat dahi
Membakar hati dari padi tertinggal filosofi
Melupakan jalan pulang atas sabar dan senyum yang hilang.
Mata tak lagi memandang siapa dia
Memecahkan permata dari kelopak cinta
Dari nafsu membakar altar yang salah.
Akankah kita membuntutinya ?
Sebelum api benar-benar menjalar
Pada hati yang tertanam kayu
Pendamlah
Dikediaman bersalju
Agar gersang menggigil dihati tak berbatu.
Annuqayah 2019
Kemarau
Seperti kemarau
Tanah-tanah gersang
Terlentang setelah hujan
Membungkam dari waktu yang bermusim
Membidik daya rindu
Pada setapak ingatan memanjang kaku.
Annuqayah, 2018
Kutunggu
Pagi ini sepulang dari rumah suci
Rintihan hujan menarik hati
Tak terasa hempasan hujan membasahi baju dan peci
Namun harapan merenggutku dari terik matahari
Sebab,kopi menanti di waktu pagi
Bukan mencari polusi di siang hari
Sebab, sekali lagi menunggu adalah cara ampuh untuk menyatu
Pada kopi yang serasa ampuh menghapus ambigu
Waktu pagi di gubuk yang sunyi
Memandang ingatan yang tak lagi basi
Dari kelopak mata menjadi arti puisi
Dengan segelas kopi yang mendidih
Menarik hati untuk menunggu waktu pagi kembali.
Annuqayah 2018
Menarik Senyum
Malam-malam begini
Suara-suara memainkan hati
Dari api yang ber harum melati
Di telinga seorang istri.
Pagi-pagi begini
Petani-petani membawa cangkul ke tanah berpadi
Untuk mencari alasan berpoligami
Agar visi tak terpendam disrikandi.
Siang-siang begini
Matahari mencubit kepala- hingga ke kaki
Ingin berteduh pada bilik yang berpenghuni sendiri
Sebab istri sibuk dengan pekerjaannya sendiri
Tak puas melayani.
Sore-sore begini
Angin-angin membawa dingin hati
Dari belaian seorang istri
Yang menjadi penghangat kopi
Ketika terhidang di meja pagi.
Annuqayah 2019
Semak Diksi
Diam dalam gua
Dalam kamar berkisah
Pasti butuh waktu mewujudkan impian
Dari angan yang seluas lautan.
Sesekali masuk sudah pasti tenggelam di permukaan.
Bukan dalamnya samudera
Yang membuatku tenggelam
Tetapi diksi yang membuatnya hilang di balik pasang.
Yang basi mari di benahi
Karna waktu telah mengabdi untuk mewujudkan mimpi
Meski matahari tak lagi memberikan kesejukan
Pada tubuh yang runcing
Membuat kepala semakin pusing kehilangan anting
Namun, semuanya penting
Dari pada kotoran kucing.
Annuqayah 2018
Setajam Doa Ibu
jika waktu mengaduh untuk mewujudkan benih
mari kita benahi proses membuat puisi
dari imajenasi,hasrat mulai mengabdi
akan tetapi ilusi tak pernah pasti
dari lambaian tanganmu yang bermakna rindu
dan memanggil sahdu pada malam kita bertemu
ketika jarak tak menentu
salam sapapun tak redup
jika lentera mengambang dipintu ingatan
bersama bayangan yang takkan hilang diterjang badai
mungkin doa yang menghancurkan masalah
dari usaha,bodoh bisa pecah
aku harap doa setajam ucapan ibu
dan sebening air mata sahwiya
yang takpernah mengeluh jika aku tak mencuci baju
padahal aku bisa mengukur pintu
lewat gemuruh, yang tak bisa melakukan lewat tenaga
tetapi,hanya bisa lewat perintah.
Lubsel 2018
Alun Kota
Sepulang dari kewajiban
Niat-niat menjuntai kepermukaan
Melintasi jalan berasap hitam
Dari kaki rindu menjadi puisi.
Dihadapan bunga-bunga terjaga
Dari hama-hama yang mencium surga
Menarik ingin memetik kelopak daun
Menaruh pada alun-alun kota.
Berbicara dengan puisi
Menaruh imaji
Dengan diksi-diksi terpilih
Pada larik pagi.
Kota sumenep 16 maret 2019
Gelombang Rasa
Lampu-lampu sudah menyala
Di taman-taman kota
Mengenai wajah senyum
Mewarnai kulit yang hitam.
Berdiri tegak dengan warna biru
Bergelombang ketika digoncang
Menyisakan buih-buih putih
Diantara botol yang terisi.
Akankah orang-orang menyandangkan sajadah
Ketika rumah tuhan menggema di tepi jalan
Menggoncangkan niat
Melepas pengikat malas
Pada tubuh yang kaku untuk menuju.
Marilah baca ayat-ayat tuhan
Hingga kenikmatan sudah terasa
Bahwa tuhan ada sebagai mana biasa
Yang tertera dikitab-kitab manusia.
Taman kota, sore 16 maret 2019
Memanah Mendung
Di sana orang-orang ceria dengan cerita
Saling tukar-menukar canda pada setapak mesra
Memanah mendung pada lagu burung
Berkicau tanpa ada rasa tersinggung.
Memetik bunga-bunga yang layu
Dari beban hujan sempat mendekap
Di kaki luka yang melingkari sudut kota
Pada setumpuk kawan rahma.
Bersyukurlah dengan sebanyak tanah
Menerima hujan tanpa rasa marah
Kelak dibalik hujan pasti ada yang lebih berarti
Dari perih memanjang tanpa bintang bersinar.
Taman baru sumenep 17 maret 2019
Tapak Senja
Siapa yang pernah menghitung daun
Diatas kepala yang ranum
Membiru dengan sejuk
Menerpa pada tubuh terkantuk.
Memotret dengan gaya karet
Membengkukkan badan
Pada objek yang biru
Ternama bahwa segalanya akan tertuju
Jika air mengalir pada tubuh.
Sore memberi angin perawan
Dimana simpang jalan yang tertuang senja
Menembuskan irama-irama cinta
Di kediaman taman bunga.
Tak ada yang tersisa disore ini
Melainkan kenangan yang telah dilewati
Pada waktu yang berganti
Di musim senja yang telah kami tapaki.
Taman baru, Sumenep 16-03-2019
TingkatI Wajah
Siapa kira aku hidup sendiri
Tak punya tujuan pasti
Datang menghampiri kota tua
Menulis sebuah janji pada adi pura
Mengambil yang nyata
Dari keluh kesah yang melanda
Membuat nafas ter engah-engah
Pada kaki berziara.
Cat-cat sudah menjadi lukisan wajah
Berkereasi dengan sebuah cita-cita
Yang ingin merih permata
Di sepanjang jalan berbatu.
Menjadi gadis cantik
Ketika proses memberi napas
Di tubuh seorang bayi
Tanpa melintas ketangga yang jauh.
Itulah proses
Yang menaiki wajah-wajah senja.
Taman baru 16 maret 2019
Permata Malam
Entah pada tahun keberapa aku menulis kata cinta
Pada hasrat yang membara memeluk nama
Jika aku dan dia sama-sama cinta memulai rasa:cinta yang tiada tara
Pada altar menanam nada
Aku dilanda cinta
Sejak tadi aku mengucapkan kata dan nama
Yang kau batasi dengan tabir pasrah
Meski kau jauh dari kelopak mata
Namun rasa tetap ada dalam dekapan jiwa
Menjadi fajar adalah cara ampuh menghapus suram
Dari gelapnya malam
Walau hati tenggelam bersama petang
Namun akan kukejar setinggi bintang
Meski bintang dilaut yang suram.
Lubsel 2018
Gerimis Pagi
Kudekap angan yang menjelma bintang
Diamnya tenggelam dalam khayalan pejam
Namun terlukis lentera dari perihal yang berupa bayangan
:mimpi
Harapan kembali dingin menyejukkan hati
Dikala ucapan mulai pasti disejuknya embun pagi
Menghaturkan puisi pada gerimis pagi
Namun api merenggut mimpi dengan perawi yang tak pasti
Dan berduri disenja hari
Yang berarti ilusi tak sebayan puisi yang hadirnya menjadi imajenasi
Pada situasi dan kondisi
Aku tak seindah langit yang menebar permata
Namun kesetiaan menghapus air mata
Dari gelisah menjadi senja
Dari pergi menjadi berarti
“Padahal pergi bukan harus berpisah
Namun ia merangkai permata diatas cinta.”
Annuqayah-Lubsel 2018
Hasrat Rindu
Dari getaran tanganmu
Hasrat bangkit dari senggangnya waktu
Untuk melaju secepat gemuruh
Sekali lalu aku berteduh di gubuk hatimu
Meski mata tak lagi mengadu
Sebab,rindu mulai mengambang dipintu
Menjadi hafalan ba’da subuh
Yang tak lupa pada waktu dulu
Aku senang jika lentera datang dipetangnya malam
Dari karang yang berpagut dibadan
Serasa beban mulai tenggelam
Jika ada senja yang hadirnya tak kunjung padam.
Annuqayah 2018
Aku Ingin
K.Halimi Ishom
Aku ingin berbicara pada angin tentang kehidupan yang penting
Karena angin mengeluarkan tiupan tanpa kasat mata
Tak bisa diraba dan hanya bisa dirasa
Itupun sangat rahasia?
Menyampaikannya lewat dedaunan yang melambai-lambai
Untuk melupakan kekesalan dan meninggikan kesenangan,
Sementara detak jam perlahan menggema
Membangunkan malam di pembaringan
Dan akupun masih kehausan atas tuturannya
Yang membawa perubahan akan kehidupan selanjutnya.
Aku ingin bertutur lagi dengan angin
Dalam mimpi yang akan datang
Untuk
Meminta ilmu yang ber barokah
Dengan peristiwa yang sama
Dengan tujuan yang sama
Karena kehidupan esok
Akan terbaca sekarang
Ketika aku memilih jalan yang benar
Tanpa halangan dan rintangan yang menghantam kehidupan.
Lubsel 2018
Melepas Air Mata
Tahukah engkau dari mana asal air mata?
Air mata lahir dari tetesan masalah.
Setelah harapan hancur di tengah jalan,
Beban menunggangi pikiran.
Berselimut resah berbantal gundah,
Selalu datang air mata.
Detak jam memanggil air mata,
Berdoa yang tiada lelah.
Meski tak dapat dikabulkan,
Ia masih saja melantunkan.
Kehidupan akan berubah,
Ketika usaha mendekap doa.
Lubsel 2019
Nama pena dari Budi Yanto Lahir di Pulau Tonduk Ra’as Alumni Mts Nurul Jadid sekarang tinggal di PP.Annuqayah Lubangsa Selatan (Padepokan C03R), bergiat di Sanggar Basmalah, Mangsen Puisi, Lesehan Sastra Annuqayah (LSA), dan kuliah di INSTIKA ,puisi-puisinya nangkring di Koran Madura (Pendidikan) Malang Post, Rakyat Sumbar serta puisinya terantologi di Luapan Emosi (Kosana Publisher 2019), Rahasia Rasa (Kosana Publisher 2019), dan juara 1 lomba cipta puisi se SMK Annuqayah, juara 3 lomba cipta puisi pekan maulidia(Annuqayah LS), juara 3 lomba cipta puisi pekan 17 Agustus (Annuqayah LS).
Fb/Hp/Email:Buday AD085319133939/085217282565/buday255@gmail.com