Hudan Nur, Literasi, dan Peningkatan Ekonomi
Berita Baru, Tokoh – Kebanyakan orang menilai, literasi melekat dan bahkan terbatas pada kegiatan membaca dan menulis. Mereka yang bisa disebut memiliki literasi yang baik hanyalah yang suka membaca dan menulis.
Duta Baca Banjarbaru Kalimantan Selatan (Kalsel) sekaligus penulis Hudan Nur secara tegas menegasikan hal tersebut. Baginya, pemahaman bahwa literasi terkotak pada membaca-menulis adalah pandangan yang kuno. Usang.
Seperti ia sampaikan dalam gelar wicara Bercerita ke-98 Beritabaru.co, Selasa (24/5), hari ini literasi memiliki makna yang luas, seperti literasi gizi, literasi siber, literasi keuangan, dan sebagainya.
Nur menambahkan bahkan literasi, khususnya untuk konteks Banjarbaru, berkelindan dengan sesuatu yang dengannya seseorang bisa mendapatkan keuntungan ekonomi.
“Literasi memiliki makna yang luas. Ini soal pemberdayaan masyarakat yang golnya adalah adanya peningkatan ekonomi,” ungkapnya dalam diskusi yang ditemani oleh Aulina Umaza, host Beritabaru.co.
Untuk membuktikannya, Nur bercerita tentang proses literasi yang sedang digalakkan di salah satu desa di Banjarbaru oleh Pemerintah melalui komunitas Rumah Limbah Bonkla Borneo.
Melalui program ini pemerintah meminjamkan sekitar 100 buku beserta raknya untuk diletakkan di desa selama enam bulan. Selepas beberapa minggu berjalan, menurut Nur, ada sesuatu yang terjadi.
Aktivitas literasi rupanya berjalan. Ada informasi baru yang masyarakat dapat—terutama tentang pengelolaan limbah botol plastik—yang tentunya tidak saja karena proses membaca, tapi juga diskusi yang difasilitasi oleh komunitas.
Dampaknya, pesanan limbah botol plastik masyarakat mengalami peningkatan. “Kemarin yang besar itu ada pesanan dari Filipina,” kata Nur.
Sekiranya, seperti inilah potret literasi yang Nur Maksud, yaitu bagaimana literasi bisa mendorong masyarakat untuk memiliki nilai tambah ekonomi.
“Soal literasi dengan gaya ini, saya dan teman-teman, termasuk dari Perpusnas sendiri menyebutnya sebagai literasi berbasis inklusi sosial,” ungkapnya.
Sebagai tambahan, tentang peminjaman buku di desa-desa selama enam bulan, konsepnya memang demikian.
Dengan ungkapan lain, Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarbaru akan menggeser buku-buku pinjaman tersebut ke desa lainnya setelah enam bulan berada di satu desa.
Di waktu bersamaan, desa pertama tadi pun akan mendapatkan pinjaman lagi dengan buku-buku yang berbeda dari buku sebelumnya.
Jadi, buku-buku tersebut diputar ke desa-desa dalam satu kota dalam tempo enam bulan sekali, sehingga masyarakat bisa memiliki akses terhadap ribuan buku dengan judul yang berbeda-beda.
Komunitas adalah tulang punggung
Dalam podcast bertajuk Banjarbaru: Literasi dan Dinamika Komunitas ini, Nur juga mengisahkan tentang peran komunitas di Banjarbaru dalam menghidupkan sastra dan literasi.
Nur membedakan antara literasi dan sastra. Yang kedua adalah bagian dari yang pertama. Selain itu, komunitas sastra cenderung lebih eksklusif dibanding komunitas literasi.
Meski demikian, yang bertanggung jawab atas adanya festival sastra yang reguler di Banjarbaru adalah keduanya.
Pada 2021, mereka berhasil mengadakan festival literasi. Tema yang diusung kali ini, kata Nur, berbeda dengan festival sebelumnya yang cenderung ke sastra.
Beberapa pihak menilai, termasuk Nur, festival yang sudah ada sebelumnya terkesan ramai di luar, tetapi kosong di dalam, sehingga evaluasi dan pembaruan mutlak dibutuhkan.
Akibatnya, pada 2021, mereka mengusung tema yang bisa lebih berdampak secara internal, dampak ke masyarakat Banjarbaru.
“Kami merasa festival yang sudah-sudah itu kayak kembang api, ramai di luar. Mewah dari jauh, tapi dari dekatnya kosong,” tegas Nur.
Dilema ISBN
Di sela diskusinya tentang literasi dan Banjarbaru, Nur sempat menyinggung perkara ISBN.
Nur menengarai, sistem pemberian ISBN penting dievaluasi. Sebab beberapa tahun terakhir ISBN kerap diberikan begitu saja pada buku-buku yang tidak jelas.
Maksud tidak jelas di sini mengacu pada dua (2) kemungkinan. Pertama, buku tersebut sekadar untuk kenaikan pangkat di suatu lembaga, sehingga konten di dalamnya cenderung diabaikan.
Kedua, itu hanya buku project yang nasibnya bergantung pada funding. Ketika dana tidak jelas, maka diseminasi buku berhenti. Akibatnya, buku akan kehilangan relevansinya sebagai salah satu instrumen untuk mendorong literasi di masyarakat.
“Mudahnya sih untuk buku-buku yang jelas diterbitkan demi kenaikan jabatan, lebih baik tidak diberikan ISBN-nya!” pungkas Nur.