Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Hilirisasi Nikel Dorong Pertumbuhan Ekonomi Maluku Utara Capai 19 Persen
Kawasan industri nikel milik PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) (Foto: Betahita)

Hilirisasi Nikel Dorong Pertumbuhan Ekonomi Maluku Utara Capai 19 Persen



Berita Baru, Jakarta – Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan bahwa strategi hilirisasi yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia telah memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah penghasil nikel, seperti Maluku Utara.

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi daerah ini sekarang berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.

Dalam konferensi pers yang diadakan di Gedung Kementerian Investasi, Jakarta, pada Jumat (30/6/2023), Bahlil menyatakan bahwa sebelum fokus pada hilirisasi, pertumbuhan ekonomi Maluku Utara berada di bawah rata-rata nasional. Namun, sekarang pertumbuhan ekonomi Maluku Utara mencapai 19 persen, bahkan pada tahun sebelumnya mencapai 27 persen.

Data Kementerian Investasi/BKPM juga menunjukkan bahwa daerah penghasil nikel lainnya, seperti Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, juga mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata nasional. PDRB per kapita kedua daerah tersebut tumbuh sebesar 20,3 persen dan 6,7 persen pada tahun 2022, melampaui pertumbuhan ekonomi rerata sebesar 6,4 persen.

Terhadap usulan Dana Moneter Internasional (IMF) yang meminta pemerintah untuk tidak memperluas hilirisasi melalui penyetopan ekspor komoditas, Bahlil menolak dengan tegas. Ia menyatakan bahwa hilirisasi tetap menjadi prioritas negara dalam pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, dan larangan ekspor akan tetap dilakukan.

IMF dalam laporan konsultasi Artikel IV 2023 dengan Indonesia meminta pemerintah untuk secara bertahap menghapus pembatasan ekspor komoditas dan melakukan evaluasi cost-benefit kebijakan tersebut secara berkala.

Menurut Bahlil, melanjutkan ekspor komoditas akan berdampak pada kerusakan lingkungan, kehilangan lapangan kerja, dan hilangnya nilai tambah. Ia menyoroti standar ganda yang dibangun oleh IMF, di mana negara-negara lain melarang ekspor komoditas sementara IMF memberikan rekomendasi berbeda kepada Indonesia.

Bahlil menegaskan pentingnya mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, termasuk penciptaan lapangan kerja yang baik dan keberlanjutan lingkungan, dalam mengambil keputusan terkait ekspor komoditas.