HGU Perkebunan Sawit PT SKR Di Bintuni Dianggap Tidak Sah dan Menipu Masyarakat
Berita Baru, Jakarta – PT Subur Karunia Raya (PT SKR), salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit yang saat ini beroperasi di Distrik Moskona Selatan dan Distrik Meyado, Kabupaten Teluk Bintuni telah memegang Surat Keputusan Kepala Kantor BPN Provinsi Papua Barat Nomor 1/SKHGU/BPN-92/IX/2021 yang memberikan Hak Guna Usaha (HGU) untuk PT Subur Karunia Raya per Tanggal 17 September 2021.
Penerbitan SK HGU ini memberikan pengusaan lahan kepada pemegang izin selama paling lama 35 Tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 Tahun. Setelah jangka waktu pemberian dan perpanjangan HGU berakhir maka maka dapat diberikan pembaruan izin HGU di atas tanah yang sama dalam jangka waktu 35 Tahun. Sehingga total lahan yang dapat dikuasai dan digunakan yaitu 95 tahun.
Menanggapi hal tersebut, Perwakilan pemuda adat dari Kampung Jagiro di Distrik Moskona Selatan, Arnoldus Yerkohok menganggap bahwa perolehan HGU perusahaan sawit tersebut tidak dapat terima karena dianggap menipu masyarakat.
“Pertama, bahwa pihak perusahaan perkebunan sawit PT SKR dan pihak BPN Cabang Bintuni pernah datang di kampung dan menyampaikan bahwa akan melakukan pengukuran tanah masyarakat sampai di kampung dan berjanji akan memberikan sertifikat kepada masyarakat dalam rangka pembangunan Kebun Plasma,” ujar Arnoldus dalam keterangan tertulisnya, Minggu (19/12).
Kedua, menurut Arlnoldus sistem format yang disiapkan oleh mereka sudah ada dan mereka model perintah saja. Ini yang kami tidak suka. Sejauh pengetahuan saya bahwa sertifikat ini untuk mereka (masyarakat), tapi sampai saat ini masyarakat belum melihat dan pegang sertifikat yang dijanjikan itu. Namun dengar kabar ternyata seritifikat HGU perusahaan malah sudah terbit.
“Terkait 20 persen yang diberikan kepada masyarakat dan 80 persen kepada perusahaan, menurut saya tidak cukup dan tidak dapat terima. Penguasaan dan Pengolahan lahan dari 35 sampai 90 tahun sama saja akan mentok di 40 sampai 50 Tahun sebab masyarakat tidak terima dan kami minta dikembalikan ke masyarakat,” tegasnya.
Sementara itu, Sulfianto Alias selaku Aktifis lingkungan dari Perkumpulan Panah Papua menyampaikan bahwa biasanya ada modus yang dilakukan oleh pemegang izin untuk membujuk masyarakat sehingga terjadi pelepasan lahan.
“Khusus investasi perkebunan sawit, modusnya dengan iming iming memberikan sertifikat tanah kepada masyarakat. Setelah pelepasan dari masyarakat adat diberikan kepada pemegang izin, maka perusahaan mengurus HGU miliknya,” tutur Sulfianto.
Di dalam kebijakan Reforma Agraria yang digagas oleh Pemerintah, lanjut Sulfianto memang sudah menjadi kewajiban perusahaan untuk mengalokasikan tanah sebesar 20 persen dari luas HGU kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam kebijakan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).
“Namun saya menilai masih tidak adil bagi masyarakat adat, sebab masyarakat adat hanya memperoleh seperlima bagian dalam HGU, sedangkan pemegang izin memperoleh empat perlimanya, Jadi kalau luas HGU 100 hektar, maka tanah untuk masyarakat hanya 20 hektar sedangkan 80 hektar adalah milik perusahaan,” katanya.
Ia menduga penerbitan SK HGU ini tanpa melalui proses PADIATAPA secara baik dan berpotensi menimbulkan konflik dan semestinya pemegang izin dan pemerintah harus membuka secara luas tujuan dan proses perolehan lahan.
“Kami juga meminta pemerintah daerah Teluk Bintuni untuk melakukan peninjauan kembali terhadap izin perkebunan sawit yang saat ini sedang beroperasi karena meinlbulkan banyak masalah,” tegas Sulfianto.