Hasil Otopsi: George Floyd Positif COVID-19 Tetapi Tidak Menunjukkan Gejala
Berita Baru, Internasional – Pada hari Rabu (3/6), Kantor Pemeriksa Medis Hennepin akhirnya merilis laporan otopsi lengkap kematian George Floyd. Dr. Andrew Baker selaku pemeriksa medis, merilis dokumen setebal 20 halaman setelah mendapat izin dari keluarga Floyd dan tim hukum mereka.
Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa George Floyd diketahui positif COVID-19 sejak tanggal 3 April. Namun, ia tidak memiliki kerusakan paru-paru sehingga mungkin ia tergolong dalam Orang Tanpa Gejala (OTG) atau asimtomatik.
Disebutkan juga dalam laporan itu bahwa Floyd mempunyai beberapa luka dari benda tumpul di bagian dahi, wajah, dan bibir atasnya. Di samping itu terdapat pula luka pada bahu, tangan, siku dan kaki.
Dr. Andrew Baker dalam laporan itu juga mencatat bahwa Floyd memang mempunyai beberapa penyakit dalam termasuk penyakit jantung arteriosklerotik ‘parah’ dan penyakit jantung hipertensi. Namun, Dr. Andrew Baker menggaris bawahi bahwa tidak ada penyakit yang mengancam nyawa Floyd.
Rincian otopsi juga menunjukan bahwa Floyd memiliki riwayat mengkonsumsi metamfetamin dan fentanyl pereda nyeri opioid dalam sistem tubuhnya yang tergolong obat psikotropika yang kemudian dianggap Floyd menggunakan narkoba.
Laporan ini merupakan laporan pelengkap dari laporan sebelumnya. Pada hari Senin (1/6), Kantor Pemeriksa Medis Hennepin merilis laporan yang menyebutkan bahwa George Floyd meninggal karena kardiopulmoner tiba-tiba berhenti dan kompresi pada leher. Karena itu, menurut Kantor Pemeriksa Medis Hennepin pada waktu itu mengatakan bahwa George Floyd meninggal karena dibunuh.
Apa yang terjadi pada George Floyd?
George Floyd merupakan seorang pria berkulit hitam, berusia 46 tahun, berasal dari Minnesota, dan meninggal pada tanggal 25 Mei setelah ditangkap oleh petugas polisi di luar sebuah toko. Floyd ditangkap petugas polisi karena dicurigai membayar dengan uang kertas palsu senilai US$20.
Penangkapan George Floyd terekam dalam video yang menunjukkan dengan jelas petugas polisi Derek Chauvin sedang menindih kepala Floyd dengan lututnya selama lebih dari delapan menit. Floyd tiba-tiba kehilangan kesadaran lalu dibawa oleh ambulan dan meninggal.
Mengutip Sputnik, jaksa penuntut mengatakan bahwa pihaknya tidak menemukan bukti fisik yang mendukung tindakan pencekikan terhadap George Floyd.
Selain itu, muncul juga laporan yang menyebutkan bahwa George Floyd meninggal karena sesak napas akibat tekanan yang berkelanjutan. Laporan itu dirilis dari pihak yang mengaku telah melakukan otopsi pribadi dan ‘terpisah’ atas permintaan dari keluarga Flyod.
Namun, Kantor Pemeriksa Medis Hennepin merilis laporan tertanggal 1 Juni, yang menyebutkan bahwa Floyd meninggal karena dibunuh. Laporan itu kemudian memicu protes di seluruh negeri hingga mengakibatkan banyak korban.
Bagaimana reaksinya?
Petugas Polisi Derek Chauvin ditangkap dan didakwa melakukan pembunuhan tingkat tiga dan pembunuhan tingkat dua; pada Rabu (3/6), status pembunuhan Derek Chauvin ditingkatkan menjadi tingkat kedua. Tiga petugas polisi lainnya yang berada di lokasi kejadian juga dituduh membantu dan bersekongkol melakukan pembunuhan.
Kematian Floyd telah menyulut serangkaian protes keras di Minneapolis dan St. Paul. Protes itu segera menyebar hampir di seluruh wilayah AS. Lebih dari 17.000 pasukan Garda Nasional dikerahkan di 23 negara bagian dan Distrik Columbia untuk membantu polisi setempat mengendalikan situasi.
Peristiwa ini merupakan peristiwa yang belum pernah terlihat di AS sejak tahun 1960-an.
Saat ini, otoritas negara bagian dan kota bertanggung jawab untuk menangani kerusuhan dan mengendalikan situasi di wilayah yurisdiksi masing-masing. Namun Presiden Trump telah mengancam akan mengerahkan pasukan militer untuk menjaga ketertiban jika otoritas negara bagian dan kota gagal menangani kerusuhan, meskipun Pentagon mengatakan bahwa pihaknya enggan mengerahkan militer.