Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

LBH Makassar
Pada 8 Oktober 2024, permohonan praperadilan ganti kerugian dan rehabilitasi yang diajukan oleh dua buruh PT. GNI, Minggu Bulu dan Amirullah, yang merupakan korban kriminalisasi, ditolak oleh hakim tunggal.

Hakim Tolak Ganti Rugi Buruh PT. GNI yang Divonis Bebas Mahkamah Agung



Berita Baru, Makassar – Pada 8 Oktober 2024, permohonan praperadilan ganti kerugian dan rehabilitasi yang diajukan oleh dua buruh PT. GNI, Minggu Bulu dan Amirullah, yang merupakan korban kriminalisasi, ditolak oleh hakim tunggal. Kedua buruh sebelumnya divonis bebas oleh Mahkamah Agung berdasarkan putusan Kasasi Nomor 714 K/PID/2024 dan Nomor 724 K/PID/2024, setelah menjalani masa tahanan selama 14 bulan.

Majelis Hakim dengan tegas menyatakan dalam siaran pers yang diterbitkan oleh LBH Makassar pada Rabu (9/10/2024) bahwa, “Menolak permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi yang diajukan oleh pemohon.” Hakim berpendapat bahwa penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh Penyidik dan Penuntut Umum sudah sesuai dengan prosedur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Meskipun demikian, putusan ini dianggap jauh dari rasa keadilan bagi Minggu Bulu dan Amirullah. Keduanya mengalami kehilangan pekerjaan serta kerugian selama penahanan, yang seharusnya menjadi pertimbangan utama. “Hakim tidak mempertimbangkan kerugian yang kami alami. Saya ditahan selama 14 bulan, dan Mahkamah Agung sudah membuktikan bahwa saya tidak bersalah. Seharusnya ini menjadi bukti bahwa penahanan dan penuntutan terhadap kami tidak berdasar,” ujar Minggu Bulu dengan kecewa.

Hutomo, Koordinator Bidang Hak Sipil dan Politik LBH Makassar, menilai bahwa Hakim gagal melihat kerugian para korban. “Kedua korban sudah ditahan selama 14 bulan dan divonis bebas oleh Mahkamah Agung. Seharusnya ini cukup menjadi bukti bahwa mereka dirugikan dalam proses hukum. Namun, Hakim hanya fokus pada prosedur administratif penyidikan dan penuntutan tanpa memperhatikan kerugian yang nyata dialami oleh korban,” jelas Hutomo.

LBH Makassar juga menegaskan bahwa praperadilan seharusnya menjadi mekanisme pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum, terutama penyidik dan penuntut umum. “Hakim seharusnya lebih jeli melihat kerugian korban, bukan hanya fokus pada prosedur,” tambah Hutomo.

Dalam konteks hak asasi manusia, putusan ini juga bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang menegaskan bahwa negara harus menjamin mekanisme pemulihan yang efektif bagi korban pelanggaran hak. Pasal 2 ayat (3) huruf a menyatakan, setiap orang yang hak-haknya dilanggar harus mendapatkan ganti rugi yang efektif, termasuk bila pelanggaran tersebut dilakukan oleh aparat negara.

Amirullah, yang juga divonis bebas oleh Mahkamah Agung, menyampaikan kekecewaannya, “Saya diputus tidak bersalah, tapi saya sudah ditahan selama 14 bulan. Saya kaget dan kecewa dengan putusan praperadilan ini. Ada apa dengan hukum kita saat ini?” ucapnya dengan nada kecewa.

Putusan ini dinilai menjadi preseden buruk bagi korban kriminalisasi yang mencari keadilan melalui mekanisme praperadilan, sekaligus melemahkan perlindungan hukum terhadap warga dari penyidikan dan penuntutan yang tidak hati-hati.