Gottfried Leibniz dan Kitab Tua | Puisi-Puisi J. Akit Lampacak dan Vito Prasetyo
Puisi-Puisi J. Akit Lampacak
Mengenal Gottfried Leibniz
Lupakan saja bayangan dalam sebotol anggur
karena hidup selamanya tak perlu kita atur
lagi pula,
kau bukan pemabuk baru
tak mungkin kau berbuat keji padaku.
Bertemu denganmu.
anggap saja,
aku sedang menatap jendela
kering rumput
bukan karena takut;
memerangi langkah,
menjanjikan banyak jarah.
Sumenep,2021
Pada Sebuah Lawatan,
Setelah Kita Sama-Sama Mengenang Ingatan
Kepada Hurrëm
simpang jalan menuju Top Kapi
cuaca masih terlalu buruk menyebak gugur daun
upaya hujan gaduh sepanjang parit
—dari pagi hingga siang
mendung membuat kita singgah
di bawah musim yang terlanjur basah.
barangkali kita segera mengenal aroma tanah
di bawah atap yang sejuk dalam akut
siang tertatih memotret lengkung janur
di batas umur, rasa kangen demikian luntur.
di jauh tatapanmu,
kenangan akan mencipta rawa-rawa
uraian lumut pada pagar tak seberapa bau
membuat kita kembali ditampih rinai pagi
pada kembang yang mekar di gelap subuh.
Lubtara,2020
Mengenang Oktober di Tahun 1871
Charles Babbage
Oktober telah memanggilmu dari jendela,
minggu pagi jadi hari libur bangsa burung
ranting-daun tampak kering ditopang rabun
Aku kira,
musim gugur telah membuatmu menoleh ke hutan lagi,
di lehermu aliran Sungai Tyburn sedang tersendat
pada beningrnya,
aku pun mendengar dusta matahari pada pagi
tetes embun jauh dari sumur
dan segar mawar asing dari halaman.
Sumenep,2021
Puisi-Puisi Vito Prasetyo
Kitab Tua
: di kota Granada, Spanyol
selarut malam
ringkas waktu berotasi
tidur kita
jadi gelisah
yang menggali peradaban
menuangkannya di temali puisi
jadi peperangan masa
di sehelai kertas
adalah sajak kita
mengarungi semesta jagat
di balik ingkarnya ingatan kita
aku berjalan
di antara kenistaan masaku
mungkin juga keniscayaan
matahari dan bumi
kelokan jalan riuh menabur aroma
tertuang
di pelepah daun kertas
ingin kuhidupkan satu nama
: Abdullah Al Sagheer
membakar panggung zaman
yang penuh rimba virus
ingatanku berserakan
apakah ini isyarat
pendurhaka aksara terpasung
telunjuk daun yang jatuh
menguning, tak lagi hijau
serupa raut pupus
disemai angin liar
bagai serdadu mengibarkan tangan
merunduk nasib, pertempuran usai
: Granada, epilog drama tersungkur
kereta kuda melaju
tali kekang seakan menari-nari
merapal irama, nalar limbung
mengulik zaman kian tua
kitab usang pun memacu
berlari di sampul baru
seakan mencetus rindu
petuah para pujangga
: mungkin Djajabaja terkesima
nukil pararaton adalah mulut kecil
terdiam lama
seperti lafal kusyuk
acuh tak acuh, tak bergeming
biarlah zaman merumuskan
tafsir filsuf yang menembus
peradaban sunyi
tunas daun kembali meruncing
matanya memancar doa
serupa mantra
yang kibaskan
aroma kematian
di ketiak musim, perlahan membisik
bagai hembusan angin
: megalitikum membakar Granada
mungkin
sajak kita penuh cemas
merumus pandemi
di antara kitab tua
yang telah ikrarkan
cinta abadi, sepasang lukisan
—El Puerto del suspiro del moro –
puisiku membaca: napas terakhir kaum muslim
tertuang di kitab usang: cerita palsu karangan Spanyol
yang memuisikan kedurhakaan Ferdinand II dan Isabela
Malang, 2022
Nukilan Ki Ageng Manyar
semerbak tirakat di pintu malam
merupa raut senja dihela angin
diam dan hening
seakan tafsir masa silam
tak lagi terbaca
selain narasi-narasi ritual
dalam penggalan jejak petilasan
hidup senantiasa bergegas dalam kata-kata
merapal jarak di ringkih waktu
seperti gerabah tuangkan bara api
mengoyak mata, simpulkan petuah
dan kalimat tumbuh menjadi paragraf
menyumpahi sepasang orbit waktu
haruskah nukilan tradisi dimainkan dalam opera
hidupkan puisi, berjalan tanpa penghentian
sebab cemas hanyalah rapuhnya ingatan
kadang berlari pongah
memacu kuda untuk memulai filsuf baru
tanah Wonoboyo bagai rahim pertapa
di peradaban baru, rambutnya memutih
bagai ritmis kedaton tinggalkan pusara Raja Brawijaya
jadi samar ditelan riwayat langit
tak ada lagi aksara di peraduannya
langit seakan tersumbat
gelap gulita memayungi mata kita
malam begitu penat
esok kita mulai hangatkan senja
di pemakaman angin, burung elang kembali tidur
kita jaring cahaya tatkala matahari tertunduk diam
seperti serdadu tinggalkan medan pertempuran
mungkin masih ada catatan nukil tersisa
gerimis hujan bagai hingar bingar gamelan
senandungkan artefak Mataram
di raut wajah yang kehilangan kenangan
2022
J. Akit Lampacak, lahir di Sumenep, Jawa Timur, pada 2000. Mahasiswa jurusan teknologi informasi IST Annuqayah. Bergiat di Lesehan Sastra Annuqayah (LSA). Karyanya sudah dimuat di berbagai media, buku puisi tunggalnya bertajuk Lampang 2021.
Vito Prasetyo, dilahirkan di Makassar, 24 Februari 1964. Bertempat tinggal di Kab. Malang. Pernah kuliah di IKIP Makassar. Bergiat di penulisan sastra sejak 1983, dan peminat budaya. Tulisannya banyak dimuat di media daring maupun luring, lokal maupun nasional.