FOLU Net-Sink 2030, Komitmen Nyata Indonesia untuk Merespon Perubahan Iklim
Berita Baru, Yogyakarta – Inisiasi “Indonesia FOLU Net-Sink 2030” membuktikan bahwa Indonesia tidak main-main dalam urusan penanganan isu perubahan iklim dan pemanasan global karena kegagalan dalam mencegah keduanya dapat berdampak negatif terhadap kehidupan manusia dan keberlangsungan sumberdaya hayati.
Indonesia Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net-Sink 2030 adalah suatu kondisi dimana tingkat serapan karbon sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya sudah berimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi yang dihasilkan sektor tersebut pada tahun 2030.
Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), Edi Sulistyo H, Susetyo mengatakan bahwa FOLU Net Sink 2030 mendorong kinerja sektor kehutanan menuju target pembangunan dengan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar -140 juta ton CO2 pada tahun 2030.
“FOLU Net-Sink 2030 dibangun dengan prinsip Sustainable Forest Management, Environmental Governance, dan Carbon Governance,” kata Edi Sulistyo saat menyampaikan Keynote Speech mewakili KLHK dalam acara Forestival dan Pertemuan Koordinasi Mitra SETAPAK 3 di Yogyakarta pada Kamis (17/11).
Edi Sulistyo menjelaskan terdapat 5 upaya transformasi kebijakan pemerintah untuk menuju Indonesia FOLU Net-Sink 2030, yaitu: pertama, mempertahankan lahan alam yang tersisa melalui pemanfaatan jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu; kedua, mendorong terjadinya regenerasi hutan alam terdegradasi.
Ketiga, efisiensi penggunaan lahan dan optimasi lahan tidak produktif; keempat, melakukan akselerasi penyerapan karbon untuk menjamin keberlangsungan layanan jasa ekosistem; dan kelima adalah pengembangan kebijakan fiskal untuk sektor FOLU.
“FOLU Net-Sink 2030 adalah untuk penurunan GRK yang merupakan hasil dari perbaikan tata kelola hutan dan peningkatan masyarakat. Ketika tata kelola hutan kita baik dan masyarakatnya sejahtera, maka penurunan GRK akan mudah diwujudkan,” tambah Edi Sulistyo.
Indonesia FOLU Net Sink 2030 merupakan penyelarasan arah pembangunan KLHK dengan Undang-Udang Ciptakerja, Sustainable Development Goals (SDG’s), Paris Agreement, dan multi usaha kehutanan.
Edi Sulistyo melanjutkan, pada intinya, FOLU Net-Sink 2030 adalah kegiatan teknis di tingkat tapak melalui 3 aksi, yaitu: pertama, aksi pengurangan gas rumah kaca, misalnya dengan pengendalian karhutla dan mengurangi deforestasi; kedua, aksi mempertahankan serapan emisi, dengan cara menjaga dan mempertahankan kondisi tutupan hutan-hutan yang ada; dan ketiga, meningkatkan serapan emisi dengan rehabilitasi hutan dan lahan.
Dengan adanya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 168 tentang FOLU Net-Sink 2030 untuk pengendalian perubahan iklim pada tanggal 24 Februari 2022, pada tahun 2030 Indonesia harus menurunkan 29% dari Business As Usual dan bisa mencapai 41% lebih rendah apabila ada dukungan dari international.
Dari target penurunan emisi 41% tersebut, 24,1% berasal dari sektor kehutanan, artinya sektor kehutanan memiliki porsi terbesar, yakni 60% dari total kewajiban Indonesia untuk menurunkan emisinya.
Untuk diketahui, Forestival dan Pertemuan Koordinasi Mitra SETAPAK 3 kali ini mengusung tema “Memperkuat Agenda Keberlanjutan Hutan di Indonesia”, merupakan pertemuan untuk merefleksikan kerja dan capaian yang dihasilkan oleh mitra pengelola program SETAPAK 3.
Diikuti oleh mitra nasional dan lokal, SETAPAK 3 yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation kali ini bertujuan untuk membangun kolaborasi dan sinergitas antara organisasi masyarakat sipil dan para pihak untuk mempromosikan kebijakan pengelolaan hutan dan lahan berkelanjutan baik di tingkat nasional maupun daerah.