Enam Warga Adat Ompu Mamontang Laut Ambarita Diculik Orang Tak Dikenal di Simalungun
Berita Baru, Jakarta – Pada Senin (22/7/2024) sekitar pukul 3 pagi, enam orang masyarakat adat keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita diculik oleh orang-orang tak dikenal dari rumah mereka di Buttu Pangaturan, Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Keenam korban yang diculik adalah Tomson Ambarita, Jonny Ambarita, Gio Ambarita, Prando Tamba, Hitman Ambarita, dan Pak Kwin Ambarita. Hingga kini, keberadaan mereka belum diketahui.
“Kejadian ini terjadi ketika sekitar 50 orang yang mengendarai dua unit mobil security PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan sebuah truk Coltdiesel datang ke lokasi. Saat itu, MA, salah satu korban, sedang tidur ketika polisi datang dan memukul kakinya untuk membangunkannya. Setelah terbangun, tanpa ada negosiasi, polisi langsung menangkap MA. Sebelum digari, polisi juga memukul beberapa korban, termasuk memukul kepala hingga robek, menendang kepala dan dagu, serta menindih korban untuk mencegah perlawanan,” demikian dikutip dari Instagram Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL, @aliansi_gerak_tutup.tpl, pada Senin (22/7/2024).
Seorang perempuan adat di sana mengatakan, “Saya juga, ketika saya melakukan perlawanan, badan dan kening saya dipukul. Anak saya yang masih SD juga diancam dan badannya dililitkan karena melakukan perlawanan.” Setelah diborgol, keenam masyarakat adat tersebut dimasukkan ke dalam mobil security dan truk Coltdiesel, kemudian dibawa pergi ke lokasi yang tidak diketahui.
Dilansir dari laman Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, kekerasan dan pendudukan yang dilakukan oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) terhadap masyarakat adat di Sihaporas telah berlangsung sejak perusahaan memperoleh izin konsesi pada tahun 1992. Masyarakat adat telah melakukan berbagai bentuk perlawanan, termasuk pengaduan ke berbagai lembaga, demonstrasi, dan blokade jalan, untuk merebut kembali tanah adat mereka yang dianggap dicaplok pemerintah dan diberikan kepada TPL.
Konflik ini sering kali diwarnai dengan intimidasi, kriminalisasi, dan kekerasan, yang menimbulkan trauma dan kerusakan lingkungan. Kehadiran TPL juga mengancam keberadaan flora-fauna endemik dan identitas budaya masyarakat adat, dengan memusnahkan tumbuhan lokal yang digunakan dalam ritual adat. Upaya perlawanan terus dilakukan meski menghadapi berbagai tekanan, dengan masyarakat adat tetap bertahan untuk mempertahankan tanah warisan leluhur mereka.