Ekonom Faisal Basri: Sebelum UU Ciptaker, Investasi di RI Sudah Baik
Berita Baru, Jakarta — Ekonom Faisal Basri mengatakan bahwa, alasan pemerintah menerbitkan Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) sangat tidak tepat. Sebab, tanpa UU Ciptaker pertumbuhan investasi asing yang masuk ke Indonesia sudah sangat baik.
Menurut dia, investasi asing yang masuk Indonesia bahkan lebih baik dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Jadi, kata Faisal Basri tidak benar jika pemerintah mengatakan investasi asing yang masuk ke RI kalah dengan negara lain.
“Seperti yang sering saya katakan investasi ini tidak begitu masalah di Indonesia, investasi di RI cukup besar dan tidak benar kalau investasi asing itu Indonesia kalah. Vietnam, Thailand dan Malaysia itu investasi asingnya lebih kecil dari RI. Jadi sudah salah kaprah ini,” kata Faisal Basri, dilansir dari CNBC Indonesia, Selsas (13/10).
Dia menilai, bahkan pajak badan sudah diturunkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) nomor 1 tahun 2020 yakni dari 22% di tahun ini akan menjadi 20% di tahun 2022. Bahkan, lanjutnya, jika perusahaan itu melantai di bursa efek atau IPO akan dikurangi lagi 3% menjadi hanya 17%.
Artinya, pajak perusahaan di Indonesia hampir sama dengan Singapura. Padahal, menurut Faisal, meski pajak badan Indonesia lebih tinggi, investor akan tetap memilih berinvestasi di RI karena hal itu lebih menarik.
“Jangan bandingkan RI dan Singapura, justru RI yang paling banyak peroleh investasi dari Singapura. Singapura negara kecil, penduduk hanya 5 juta dan RI 270 juta, jadi pasarnya besar. Di Singapura nggak ada tambang jadi investor nggak bakal ke Singapura. Jadi salah kaprah,” tegas Faisal Basri.
Selanjutnya, Faisal Basri mengemukakan bahwa, pertumbuhan investasi Indonesia lebih tinggi dari China, Brazil, Amerika Selatan, Filipina, Thailand dan Malaysia. Investasi Indonesia hampir sama dengan India.
“Investasi hanya kalah kita dengan Vietnam,” tuturnya.
Dia menhelaskan investasi Indonesia per PDB tertinggi di antara negara Asean yang lain. Juga lebih tinggi dari rata-rata negara berpendapatan menengah atas dan menengah bawah. “Persoalannya di Indonesia adalah investasi banyak, hasilnya sedikit karena boros,” tutupnya.