Dua Kampus dan Dua RS Gelar Uji Klinis Vaksin COVID-19 Longcom
Berita Baru, Jakarta – Meskipun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah memberikan Izin otorisasi penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) untuk penggunaan vaksin COVID-19 AstraZeneca, namun dua perguruan tinggi dan dua rumah sakit tetap akan menggelar uji klinis terhadap vaksin buatan Anhui Zhifei Longcom Biopharmaceutical dari China.
Mereka adalah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (FK Unpad), Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta, dan RS Hasan Sadikin di Bandung.
“Vaksin rekombinan/protein sub-unit lebih selektif dan spesifik, hanya menggunakan Spike protein yang terdapat pada permukaan virus,” kata Kepala instalasi pengembangan dan inovasi Perwakilan RSCM, Andri Maruli Tua Lubis dalam siaran pers di Jakarta, Rabu (10/3).
Andri menjelaskan, pelaksanaan uji klinis fase III yang merupakan kelanjutan dari uji klinis fase I dan II yang telah dilakukan sebelumnya di China. Adapun hasil dari fase I dan fase II menunjukkan vaksin ini dinilai aman dan memiliki Imunogenisitas (kemampuan membentuk antibodi) yang sangat baik.
Sementara dalam Fase III, selain mengamati Keamanan dan Imunogenisitas, juga akan diamati Efikasi, yaitu kemampuan vaksin melindungi orang yang telah divaksinasi dari serangan penyakit COVID-19.
Sementara itu, Dekan FKUI, Ari Fahrial Syam dan Hindra Irawan Satari menguraikan uji klinis fase III vaksin Covid-19 Longcom ini akan dilakukan di beberapa negara pada 29.000 orang relawan. Meliputi Uzbekistan 7.000 orang, Ekuador 7.000 orang, Pakistan 10.000 orang, China 1.000 orang, dan Indonesia 4.000 orang.
“Uji klinis fase III di Indonesia akan dilaksanakan di Jakarta pada 2.000 relawan dan di Bandung pada 2.000 orang relawan dengan target kelompok umur 18 tahun ke atas (termasuk untuk usia di atas 59 tahun),” tuturnya.
Pada Uji klinis fase III, lanjut dia, setiap relawan akan menerima tiga kali suntikan, dengan interval waktu 1 bulan antar penyuntikan.
“Sesuai rekomendasi WHO, pengamatan uji klinis akan dilakukan selama 1 tahun. Diharapkan dengan pemberian tiga kali suntikan akan memberi efikasi yang lebih tinggi dan perlindungan yang lebih lama,” ungkapnya.