Determinan Sosial Kesehatan: Cara Pandang Baru Atasi Ketimpangan Kesehatan di Indonesia
Berita Baru, Jakarta – Secara umum capaian pembangunan kesehatan di Indonesia sudah menunjukkan perbaikan. Dapat dilihat dari angka harapan hidup yang meningkat dan semakin berkurangnya prevalensi stunting. Namun demikian, masih tampak nyata ketimpangan kesehatan antar wilayah, antar kelas ekonomi, tingkat pendidikan, hingga determinan sosial lainnya.
Kondisi inilah yang mendorong Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (Dept. PKIP FKM-UI) untuk hadir menyuarakan ide serta gagasan segar untuk perbaikan dan peningkatan kualitas kesehatan di Tanah Air.
Pada Rabu (8/3), Dept. PKIP FKM-UI menyelenggarakan sebuah webinar tentang ‘Determinan Sosial Kesehatan untuk Mengatasi Ketimpangan Kesehatan di Indonesia’. Dengan bertujuan untuk menyampaikan laporan hasil kajian determinan sosial kesehatan di Indonesia oleh tim peneliti dari Dept. PKIP FKM-UI yang didukung oleh WHO Indonesia.
“FKM-UI terus berusaha menyampaikan gagasan terkini untuk upaya meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia. Sosialisasi mengenai determinan sosial kesehatan ini diharapkan dapat menjadi pintu masuk agar pembangunan berkelanjutan di Indonesia mulai mengacu pada penerapan kebijakan yang berwawasan kesehatan di lintas sektor,” ungkap Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian dan Kemahasiswaan FKM-UI, Asih Setiarini dalam sambutannya.
Senada dengan itu, Jelsi N. Marampa, MKKK selaku Asisten Deputi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK-RI) menyebut, kondisi Indonesia yang unik secara geografis dengan beragam suku budaya memerlukan penanganan tersendiri agar menjadi potensi yang bisa dimaksimalkan.
“Pembangunan manusia perlu disesuaikan dengan etape kehidupan dan determinan sosial yang mempengaruhi hasilnya. Aspek sosial budaya dan kepercayaan misalnya, sangat berpengaruh dalam upaya penanganan stunting, pemberian ASI Eksklusif, imunisasi dasar lengkap, dan upaya pembangunan manusia Indonesia lainnya,” ujarnya.
Menurut Jelsi, terkait upaya pembangunan manusia Indonesia tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan (Kemenkes) semata. Diperlukan sinergitas pentahelix melalui peran lintas sektor yang didukung oleh dunia usaha, dunia industri, akademisi, media, dan masyarakat untuk dapat mengatasi kesenjangan kesehatan dalam upaya pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya.
“Sebagai cara pandang yang baru, determinan sosial kesehatan diharapkan bukan hanya disosialisasikan kepada para pengambil kebijakan di Indonesia, tapi juga dengan meningkatkan keterlibatan peran perempuan dan kelompok-kelompok marjinal di Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Dr. Suvajee Good sebagai Penasehat Regional WHO-SEARO menjelaskan, determinan sosial kesehatan adalah kondisi tempat tinggal seseorang, mulai dari dilahirkan, dibesarkan, bekerja, berkeluarga, hingga menghabiskan hari tua, yang dapat berdampak pada status kesehatannya. Kondisi sepanjang hayat ini tentunya berbeda-beda tergantung dari wilayah geografis dan sosial budaya setempat.
“Namun determinan sosial inilah yang paling berperan dalam ketimpangan kesehatan. Untuk mengatasi ketimpangan kesehatan,” tegasnya.
Ia menyebut, WHO melalui Deklarasi Rio de Janeiro tentang determinan sosial kesehatan merekomendasikan seluruh kebijakan harus berwawasan kesehatan (Health in all policies) kepada seluruh negara anggotanya. “Indonesia merupakan pionir yang membantu WHO dalam pengembangan indikator kesetaraan kesehatan,” sambung Dr. Suvajee.
Dalam paparannya, Prof. Ella N. Hadi menyampaikan hasil kajian determinan sosial kesehatan di Indonesia. Ia menuturkan bahwa ketimpangan kesehatan masih banyak ditemukan di Indonesia dan ini disebabkan oleh kebijakan ekonomi, pendidikan dan sosial yang belum berwawasan kesehatan.
“Misalnya akses pemeriksaan kehamilan yang lebih baik di daerah urban daripada di daerah rural, prevalensi stunting yang berbeda jauh antara daerah maju dan daerah tertinggal, angka harapan hidup yang lebih tinggi di daerah yang ekonominya lebih baik (Jawa-Bali) dibandingkan dengan daerah dengan ekonomi kurang baik (luar Jawa-Bali),” urainya.
Menurut Prof. Ella, pemerintah telah melakukan perbaikan dalam program yang menyentuh segala lapisan masyarakat. Di antaranya melalui program JKN, dan pendidikan dasar yang gratis. Meski dalam implementasinya masih mengabaikan kondisi spesifik seperti akses geografis, sosial budaya yang berbeda-beda, dan lain-lain.
“Program dan kebijakan yang berwawasan kesehatan ini juga perlu monitoring yang ketat setiap tahunnya, hanya saja pengambilan data masih dilakukan secara cross-sectional. Perlu ada monitoring dengan indikator-indikator yang lebih tepat dan pengambilan data yang berkelanjutan dengan desain longitudinal,” katanya.
“Karena itu, determinan sosial kesehatan merupakan kunci untuk mengatasi ketimpangan kesehatan, dan pemerintah perlu membuat komisi khusus untuk determinan sosial kesehatan agar dapat melakukan koordinasi lintas sektor sekaligus evaluasi indikator-indikator ketimpangan kesehatan di Indonesia,” sambung Prof. Ella.
Sebagai penanggap, Guru Besar Kesehatan Lingkungan FKM-UI Prof. Budi Haryanto, juga turut menyumbang gagasannya. Ia menyampaikan bahwa tantangan kesehatan lingkungan yang perlu dilihat dari determinan sosial kesehatan. “Misalnya polusi udara dan perubahan iklim, penyakit yang dibawa nyamuk, gelombang panas yang meningkat, dan ancaman plastik mikro,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Pungkas B. Ali, Ph.D (Direktur Kesehatan dan Gizi Bappenas) juga menyampaikan bahwa banyak faktor yang di luar kuasa sektor kesehatan, misalnya stunting tidak turun karena akses air yang buruk, AKI tidak turun karena akses ke layanan susah.
Pemahaman tentang determinan sosial kesehatan yang masih rendah, katanya, disebabkan oleh kompetisi prioritas antar kementerian dan lembaga, kurangnya kepemimpinan yang berwawasan kesehatan, dan kebijakan anggaran yang belum mendukung.
“Perlu adanya basis data longitudinal untuk indikator-indikator determinan sosial yang khas Indonesia yang dilanjutkan dengan riset-riset yang menunjukkan keterkaitan determinan sosial dengan dampak kesehatannya,” tegas Pungkas B. Ali.
Diketahui, Webinar yang diselenggarakan secara daring ini diikuti lebih dari 700 peserta dari seluruh Indonesia. Dien Anshari selaku moderator dan anggota tim peneliti menyampaikan harapannya agar webinar ini menjadi ruang sosialisasi untuk determinan sosial kesehatan sebagai cara pandang baru dalam pembangunan kesehatan yang setara dan berkelanjutan.
“Selain dari webinar ini, tim peneliti juga segera merilis buku dari hasil temuan studi mereka,” katanya.