Dampak Pembangunan Industri Nikel di Morowali: Masyarakat Terusir, Lingkungan Terdampak
Berita Baru, Jakarta – Mineral kritis seperti lithium, kobalt, nikel, dan tembaga memiliki peran penting dalam teknologi energi terbarukan dan kendaraan listrik. Laporan Global Critical Minerals Outlook 2024 menunjukkan lonjakan permintaan mineral ini seiring dengan peningkatan kapasitas teknologi energi bersih. Di Indonesia, produksi nikel meningkat pesat dari 32 juta ton pada 2020 menjadi 71,4 juta ton pada 2024.
Namun, menurut laporan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) pada Sabtu (2/11/2024) peningkatan produksi ini menimbulkan dampak signifikan bagi masyarakat di sekitar kawasan industri nikel, seperti yang terjadi di Kecamatan Bungku Barat, Morowali.
“Masyarakat menghadapi berbagai masalah, termasuk konflik agraria dan penurunan kualitas lingkungan akibat hilirisasi nikel oleh PT Huabao Industrial Park (PT IHIP). Warga mengeluhkan dampak kesehatan yang buruk, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga penurunan kualitas ekosistem laut,” demikian dikutip dari rilis resmi Walhi.
Kondisi ini semakin rumit dengan munculnya konflik agraria. Pada 2022 hingga 2024, perusahaan diduga melakukan perampasan tanah seluas 14 hektare milik warga Desa Ambunu secara sepihak. “Tanah sawit kami digusur pada malam hari tanpa pemberitahuan,” ujar salah seorang warga. Selain itu, jalan desa yang menjadi akses utama warga juga dialihfungsikan menjadi jalan holing perusahaan tanpa persetujuan masyarakat.
Akibat protes dan blokade jalan yang dilakukan warga pada Juni 2024, lima warga Desa Topogaro dan Ambunu mendapat panggilan dari Polda Sulawesi Tengah. “Kami hanya ingin mempertahankan jalan desa yang sudah lama kami gunakan,” ungkap Rahman Ladanu, salah satu warga yang dipanggil. Konflik ini semakin panas ketika perusahaan menggugat lima warga lainnya dengan tuntutan senilai Rp 14 miliar atas kerugian akibat penutupan jalan selama tiga hari.
Masyarakat Desa Topogaro dan Ambunu menuntut pembatalan MoU antara PT IHIP dengan Bupati Morowali terkait tukar guling aset jalan desa yang dilakukan pada 11 Maret 2024. Mereka juga meminta transparansi terkait kesepakatan tersebut, yang hingga kini belum pernah ditunjukkan kepada publik.
Koalisi Anti SLAPP, yang terdiri dari WALHI Nasional, Greenpeace, Jatam Sulteng, Yayasan Tanah Merdeka, dan beberapa organisasi masyarakat sipil lainnya, menyerukan agar hak-hak warga dilindungi dan pemerintah mengkaji ulang kebijakan hilirisasi nikel. Mereka juga menuntut perlindungan terhadap kebebasan berekspresi warga tanpa ancaman kriminalisasi.