COP27: Afrika Menyambut Kesepakatan Dana ‘Kerugian dan Kerusakan’ dan Menuntut Tindakan yang Tegas untuk Iklim
Berita Baru, Internasional – Pada hari Minggu, para delegasi di Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP27) 2022 mencapai kesepakatan tentang “kerugian dan kerusakan” setelah negosiasi alot yang berlangsung panjang.
Keputusan tersebut menginisiasi penggalangan dana dari negara-negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia untuk negara-negara yang terbukti paling rentan terhadap dampak iklim.
Kesepakatan dana “kerugian dan kerusakan” disebut sangat bersejarah karena mengilhami harapan bahwa negara-negara terkaya di dunia telah mulai mengakui tanggung jawab iklim mereka – tidak hanya dalam kata-kata, tetapi juga dalam tindakan.
Antonio Guterres, sekretaris jenderal PBB, menyebut keputusan itu sebagai langkah penting menuju keadilan, sambil menambahkan bahwa perjanjian itu tidak akan cukup, tetapi itu adalah sinyal politik yang sangat dibutuhkan untuk membangun kembali kepercayaan yang hilang.
Seperti dilansir dari Sputnik News, AS menyatakan dukungannya untuk pengembangan dana tersebut, mengumumkan $70 juta bantuan tambahan untuk mitra Afrika dengan pertanian tahan iklim di Afrika Selatan/Tengah serta lebih dari $300 juta pada tahun 2022 untuk sistem pangan Afrika yang tangguh.
Perwakilan dari Afrika, – salah satu negara paling rentan akibat dampak perubahan iklim, bersukacita atas keputusan tersebut – Mohammed Hassan Abdullahi, menteri lingkungan hidup Nigeria yang mewakili negaranya di konferensi iklim, mengatakan bahwa dia berharap dapat membangun keberhasilan pada COP27. Ia juga mencatat bahwa pengembangan dan implementasi dana “kerugian dan kerusakan” adalah hal mendesak hari ini.
Habil Olaka, kepala eksekutif Asosiasi Bankir Kenya, mengatakan bahwa hasil konferensi sangat menginspirasi.
“Oleh karena itu, menjadi semakin jelas bahwa tidak ada lembaga atau individu progresif yang gagal memenuhi komitmen perubahan iklim mereka. Degradasi lingkungan mempengaruhi setiap aspek kehidupan, jadi pemulihan bersifat partisipatif,” tulisnya.
“Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, dua pertiga dari keuangan dunia disediakan oleh bank. Ini memberi lembaga perbankan peluang luar biasa untuk berkontribusi pada realisasi tujuan pembangunan berkelanjutan,” katanya menambahkan.
Namun, para pakar dan pengamat Afrika lainnya kurang optimis tentang hasil konvensi tersebut, dengan mengatakan bahwa ekspektasi mereka lebih tinggi.
NJ Ayuk, ketua eksekutif kelompok hukum energi Afrika Selatan, Kamar Energi Afrika, mengatakan bahwa: “Tidak ada kesepakatan seringkali lebih baik daripada kesepakatan yang buruk bagi orang Afrika, perjuangan kita melawan kemiskinan energi, pengembangan gas alam dan kaum muda kita”, katanya mengacu pada keprihatinannya atas cara negara-negara barat ikut campur dalam pengembangan infrastruktur energi Afrika.
Mohamed Adow, pendiri dan direktur lembaga pemikir energi dan iklim Power Shift Africa menyatakan pendapatnya bahwa: “UE mulai menggunakan kesepakatan ‘kerugian dan kerusakan’ sebagai pil racun untuk memperbaiki perpecahan lama seputar perluasan basis donor” .
“Kami juga tidak membutuhkan dana dalam nama saja. Dana yang tidak menentukan persyaratan bagi pencemar bersejarah untuk memberikan pembiayaan, dan mengalihkan beban ke ‘sumber lain’ yang tidak ditentukan tidak akan memenuhi kebutuhan negara-negara rentan yang menghadapi dampak buruk dari perubahan iklim,” kata Adow.
Dia juga menunjukkan bahwa konferensi tahun ini – yang disebut sebagai implementasi COP – tetapi pada kenyataannya hanya ada sedikit kemajuan yang dibuat, misalnya, dalam mengurangi bahan bakar fosil.
Pernyataan Adow datang sebagai bagian dari diskusi global tentang penggunaan bahan bakar fosil. Meskipun badan-badan internasional menetapkan bahwa sektor energi bahan bakar fosil adalah salah satu kontributor utama emisi gas rumah kaca. Beberapa ahli telah menekankan bahwa agenda hijau tidak boleh mengekang pengembangan sumber daya energi Afrika, yang hanya menyumbang dua atau tiga persen emisi gas global sementara ia menjadi negara paling menderita dari dampak perubahan iklim.
Sekembalinya dari COP27, Abdullahi dari Nigeria sekali lagi menunjukkan betapa mendesaknya masalah iklim, menerbitkan rekaman tentang lahan basah yang pernah berkembang pesat antara Chad dan Nigeria.