Catatan Seorang Anak
Catatan Seorang Anak
Kita selalu dipisahkan
oleh kepergian-kepergian
kata-kata yang tertahan
tiap kali kuberpamit
mencium keriput tangan
dari mereka aku berasal
lekat tatapan
melepasku enggan.
Tak ada yang dapat dipahami
dari gairah perjalanan
aku menukar hangat kebersamaan
dengan getar kesunyian
dunia yang aku jelajahi
pribadi-pribadi yang aku selami
mimpi dan ambisi
belantara petualangan yang kunikmati
menyisakan ceruk rindu
milik ayah-ibuku.
Tersirat dalam ingatan
melihat ibu menjahit baju
menisik sisa luka masa lalu
aku belajar berjalan, ibu
dalam asing kebebasan
lorong-lorong pertanyaan
pilihan dan pengorbanan
demi degub pencarian
tapi, ibu
tidak kujumpai kedamaian
sebagaimana saat kuberbaring
mendengarkan lantunan kisah
kelam duniamu silam.
Berkali-kali kutinggalkan
teduh kediaman
memasuki hidup
pertarungan terus berlanjut
dan ayah,
tak mampu aku hadirkan
ketenangan seperti engkau
di tengah renungan dan kepulan
asap tembakau.
Kerap dulu terkira
keluarga adalah penjara
sumber segala tanya
hatiku gegas berlari
menemukan serpihan diri
cinta mendorongku pergi
tapi perjalanan akan selalu
memberi alasan berpulang
dan makna diri
membutuhkan akar
untuk tumbuh dan berdiam.
Bogor, 2019
Dan Renungan Senantiasa Terlahir
Waktu terus bergulir
dan renungan senantiasa terlahir
dari duka menganga
tanpa ratap kata.
Di puncak arsyi
Tuhan selalu mengawasi
dicipta kita dari remah tanah
dengan retak rongga jiwa
ketidaksempurnaan yang sempurna.
Lewat kening Ia meniup
ruh kita menyusup
terbuka nyalang mata
memandang Tuhan semata.
Sejak jatuh manusia pertama
abad-abad menawarkan tafsir
atas makna takdir
para nabi dan kitab suci
menggemakan pesan hakiki
dan renungan senantiasa terlahir.
Bahasa kita terbatas
membaca gerak semesta
atau menerjemahkan lirih
desir suara alam mimpi.
Tuhan,
telah terjerat hati tapi
jalan terentang jauh
kita pun menanggung rindu
di senyap kalbu
remuk dalam pencarian abadi
jalan kembali
menuju asali.
Bogor, 2019
Kepada yang Lalu
Ingin kutenggelamkan malam
dalam pahit lamunan
cangkir kopi di ujung jari
menjaga api
kesadaran dari sergap mimpi.
Berhadap cermin kupandang
lantas malam-malamku silam
bergelombang datang menerkam
dulu cerlang bintang
mendekap kita sayang
tergenggam kata-kata
di gaib lubuk mata
hidup begitu penuh
kematian hanya perkara semu.
Peradaban runtuh berganti
tapi cinta kita nafas abadi
menyusup diam-diam
pada jasad lain dalam pelukan
hening di tubir batin
menyingkap lukisan takdir.
Di lintasan cakrawala
kepak doa terus mengembara
surat-surat tersesat
mencari pemilik alamat
darimana rindu ini bertempat.
Terbangkan aku tatapan
yang lalu milikku seorang
mainkan nada kerinduan
dari seruling keabadian
sebelum hatimu terkubur
sebelum kilau jiwamu uzur
di ladang bahasa
tanpa ilham makna.
Bogor, 2019
Sarjana Antropologi Sosial dari Universitas Indonesia, alumni program MASTERA (Majelis Sastra Asia Tenggara): Puisi 2017.