BPJS Kesehatan: Apa Kata Mereka?
Anggota Ombudsman RI
Supir taksi satu ini agak emosional ketika diajak bicara soal BPJS kesehatan: “saya dengar di tv dan radio pak. Kalau saya tak sedang kerepotan seperti ini dan ditakdirkan kaya akan saya bayar 100 kali lipat. Saya harus tanggung sendiri BPJS saya. Orang seperti bapak enak, ditanggung bersama dengan tempat bekerja. Jadi pemerintah kok asal ngomong. Dalam situasi normal saya memang tak layak disubsidi pak, karena saya tak masuk orang miskin. Kalau pemerintah boleh outsourcing tak perlu pemilu pak. Kita kontrak saja pemerintah dari negara lain. Mungkin lebih beres ini negara. Lindungi pekerjaan saya, saya akan bayar. Tak perlu saya disubsidi.”
Saya sarankan jika terpaksa, minta surat keterangan tidak mampu saja agar bisa dibantu pemerintah. Tak perlu sungkan karena ia juga pembayar pajak. Kalau kesulitan laporkan ke kita.
Beda lagi dengan teman sekolah yang pengusaha tapi masuk kategori kecil menuju menengah jika dilihat dari omset dan jumlah pekerjanya. Ia termasuk rajin membayar iuran BPJS untuk pekerjanya. Dia bilang: “hari begini kok kita masih ditipu saja ya bro. Apa tidak bisa buat kenaikan tarif yang lebih profesional, agar saya juga bisa buat perencanaan yang baik. Saya kan bukan juragan saham yang bisa goreng-goreng kertas untuk cari untung sesaat. Sebelum pemilihan tarif tak dinaikkan, setelah terpilih kepala kita dipentung. Politik memang kejam dan tak bermoral”.
Seorang teman peneliti mengirim pesan: “betul mas, ini bukan soal kaya miskin. Persisnya subsidi pemerintah untuk orang di wilayah pinggiran banyak tersedot oleh mereka di perkotaan. Di daerah pinggiran fasilitas kesehatan tak memadai. Jadi kalau katastropik ya mati saja lebih cepat. Tapi kalau sakit berat disuruh tanggung sendiri ya banyak keluarga yg ditinggal mati akan jatuh miskin. Buat apa ada jaminan sosial kalau hanya mau tanggung yang ringan-ringan.”
Seorang teman peneliti yang lain bilang: “Kalau soal peserta mandiri memang mereka unorganized. Pekerja informal kita capai 57.3%. Saya kira Pemerintah kesulitan untuk collecting. Kalau semua peserta diminta mandiri kemungkinan juga akan macet. Masalah peserta mandiri yg menunggak ini bukan esensi dari persoalan. Baiknya kelas disamakan saja. Kalau mau di atasnya ya bayar sendiri biaya lebihnya. Di dashboard saya ada 44.9 juta penduduk yang belum jadi peserta. Jumlah mereka mencapai 16.8% dari total penduduk. Entah siapa mereka ini.”
Seorang sahabat yang banyak melayani buruh migran menyampaikan: “kasihan dengan pekerja migran kita bang. Mereka bayar BPJS tapi seperti upeti ke negara agar urusan lancar. Mana mungkin bisa mereka gunakan di negara tujuan. Sakit ya harus keluarkan biaya lagi.”
Seorang teman semasa masih kuliah di fakultas kedokteran telpon. Setelah menjelaskan kondisi teman yg sedang dirawat mulai membaik, pembicaraan akhirnya sampai juga ke BPJS. Hampir setengah jam saya mendengarkan keluh kesahnya terkait BPJS yang tak mungkin saya uraikan di sini karena hanya akan membuat suram keadaan. Saya hanya katakan: “ini masalah fundamental di lini depan yang tak alami kemajuan berarti.”
Menunggu sahur saya menemui security untuk ngobrol-ngobrol santai. Dia bilang: “saya hanya dengar wawancara bapak satu kali. Saya tertawa waktu bapak bilang sudah memperkirakan akan terbit Perpres BPJS seperti ini. Jadi ingat dulu waktu bapak bilang Putusan MA akan dilawan dengan cara abunawas. Kejadian juga ya pak..”
Saya ikut tertawa mendengarnya. Saya katakan: “saya banyak menolak diwawancara terkait BPJS ini. Kecerdasan memang tak ditentukan oleh jabatan dan gaji pak. Ada waktunya kita muak dan malu melihat perilaku akal-akalan maupun debat kusir. Lebih baik diam…”
Sumber | Facebook Alamsyah Saragih |