Baran: Mampukah Sapuan Hujan Menghapus Jejakmu?
Beritabaru.co, Jakarta – Jika kamu membayangkan tokoh utama dalam film selalu paling banyak bicara, tontonlah film berjudul Baran, dan bayanganmu mungkin akan bergeser. Tentu saja Baran bukan film bisu, atau film dengan tokoh utama bisu. Tapi percayalah, diamnya sang tokoh itu justru menceritakan banyak hal pada kita.
Dalam bahasa Iran, Baran artinya hujan. Sementara dalam film besutan Majid Majidi tersebut, ia adalah nama seorang perempuan yang menjadi tokoh utama. Layaknya hujan, ia tak banyak bicara. Tapi hadirnya mampu menyeret kita ke jurang perasaan terdalam. Mengolah asa dan kenangan menjadi sekian racikan syahdu, bisa bernama tembang atau puisi, musik atau tarian, untaian doa atau sekedar lamunan. Dan dalam film itu, seorang pemuda bernama Latif benar-benar terseret sehingga rela mengorbankan banyak hal dengan suka rela.
Cerita bermula dari seorang pekerja Konstruksi (bangunan) yang jatuh dari lantai dua. Sehingga, ia tak bisa lagi bekerja. Padahal ia adalah tulang punggung keluarga. Sebab itulah, untuk menghidupi keluarga, anak perempuan pertamanya dari lima bersaudara, datang dengan sang Paman (yang juga pekerja bangunan) kepada sang Mandor untuk meminta menggantikan pekerjaan ayahnya.
Keluarga Baran adalah salah satu dari penduduk Afganistan yang terpaksa mengungsi ke Iran sebab perang saudara terus berkecamuk, dan saat itu Taliban sedang berkuasa. Banyak sekali orang-orang Afganistan (dikenal dengan sebutan Afgani) itu kemudian bahkan tidak kembali ke tanah airnya dan beranak pinak di Iran.
Sebagai imigran ilegal, tentu hidup tidak mudah. Mereka musti kerja kasar sebab kerja lain akan sulit didapat, selain harus sembunyi-sembunyi dari operasi aparat. Status itulah yang membuat Afgani bergaji murah dengan tanpa adanya jaminan sosial. Persis yang dialami ayah Baran ketika jatuh, mereka menghindari berobat di rumah sakit. Suatu kejadian yang membuat Baran terpaksa masuk dalam dunia kerja jadi kuli bangunan dengan menyamar menjadi lelaki bernama Rahmet.
Rupanya, dalam kerja itu Rahmet tidak becus sehingga banyak menimbulkan masalah. Misalnya ketika mengangkat sekarung semen ke lantai atas, semen itu jatuh berhamburan menimpa pekerja lain di bawah. Karena itulah sang mandor memberi kerjaan lebih ringan: menyiapkan makan minum bagi pekerja. Kerjaan yang dulunya ditangani Latif, seorang pemuda yang memang dititipkan ayahnya pada sang Mandor yang kebetulan adalah kerabatnya.
Latif tentu saja tak terima, tapi ia tak bisa menolak otoritas sang Mandor. Sebab itulah, ketika Latif diperintah untuk menunjukkan tempat berbelanja, di jalan ia menampar Rahmet. Dan di sini saya terhenyak ketika Rahmet langsung mengambil batu dan hendak melempar Latif. Meski hal itu diurungkan, tetap saja sang Sutradara mampu menghadirkan suatu nuansa perlawanan.
Untuk selanjutnya, Latif selalu menjaili Rahmet. Apalagi kerjaan Rahmet dianggap memuaskan oleh para pekerja, mulai nikmatnya masakan, kebersihan dan kerapian tempat, yang tentu saja menghadirkan banyak pujian. Hal itulah yang membuat Latif tambah dongkol dan semakin menjadi-jadi dalam menjaili Rahmet. Hingga ada suatu kejadian yang membuat Latif berubah. Yaitu ketika tanpa sengaja ia mengintip, lewat cermin Latif terhenyak ketika ternyata Rahmet adalah seorang perempuan yang mampu membuatnya terpesona. Latif menyesal sejadi-jadinya. Dan mulai saat itu ia siap berkorban apapun demi Rahmet.
Ketika Rahmet pulang dari berbelanja dan ternyata ada aparat yang mengejarnya, Latif dengan sigap menyelamatkannya. Meski Latif punya paspor, ia tetap ditangkap. Dan ditangkapnya Latif itulah yang membuat sang Mandor harus berurusan dengan aparat, dengan konsekuensi harus memecat semua Afgani. Tentu saja pemecatan itu berimbas juga pada kondisi keluarga Baran/Rahmet, sehingga Latif tergerak untuk meminjamkan uang pada ayahnya setelah merengek-rengek meminta gajinya dari sang Mandor.
Namun, suatu hari ayah Baran datang ke Mandor meminta pinjaman dan membuat Latif sadar bahwa uang yang ia sampaikan lewat si paman itu tidak sampai tujuan. Hal itulah yang membuat Latif terpukul. Tapi pengorbanan tak berhenti di sini. Latif menjual paspornya, dan memberi ayah Baran uang itu, dengan pura-pura bahwa itu dari Mandor.
Setelah uang diberikan, saat itu juga ayah Baran cerita kalau mereka mau balik ke kampung esoknya. Film itu diakhiri dengan adegan berangkatnya Baran ke kampung. Ketika barang-barang Baran jatuh sebelum naik mobil, Latif dengan sigap ikut menjumputi barang-barang itu. Di situlah adegan saling pandang berlangsung, dengan Baran tersenyum tipis, kemudian kembali menutup wajahnya dengan burqa. Dan ketika hendak beranjak, sepatu baran copot. Di situlah Latif lagi-lagi dengan sigap mengusap sepatu itu, dan memakaikannya pada kaki Baran.
Mobil beranjak pergi. Dan hujan mendadak turun tipis-tipis, menghapus jejak sepatu Baran pelan-pelan. Suatu ending yang cukup syahdu meski sangat bajingan.
Film Baran adalah film realis, sebagaimana yang memang ngetren dan jadi ciri khas film Iran. Dengan segala keterbatasan dan ketatnya aturan perfilman, Majid Majidi sanggup menyuguhkan suatu potret yang apik, baik dari isi maupun bentuk. Bahwa cinta dan pengorbanan itu bisa tumbuh di mana saja. Termasuk di tengah-tengah kehidupan imigran gelap dengan segala kesulitan dan keterhimpitannya. Di situlah Majid bukan sekedar mengumpati kegelapan, tapi juga menyalakan lilin harapan, meski harapan itu benar-benar jauh dan rapuh. Serapuh jejak sepatu Baran yang mudah terkikis hujan.
Soal ketatnya aturan, kita bisa melihat bagaimana cerdasnya sang sutradara menyiasati hal itu. Misalnya adegan Latif yang mengintip Baran, yang nampak hanya bayangan perempuan sedang menyisir rambutnya pelan-pelan tanpa kelihatan orangnya.
Film ini cocok untuk kita yang bosan dengan film-film Hollywood dan Bollywood yang sering menyuguhkan sesuatu heroisme yang “wow”, drama Korea yang menguras air mata, atau film-film Indonesia yang kualitasnya patut kita renungkan. Cocok juga untuk yang bosan film dengan tokoh utama selalu cerewet sekedar untuk menunjukkan kebolehannya.[Taufiq Ahmad]