Bappenas: Perang Dagang Sebabkan Perlambatan Ekonomi Dunia
Berita Baru, Jakarta – Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) merilis laporan bertajuk Perkembangan Ekonomi Indonesia dan Dunia Triwulan II Tahun 2019, Senin (9/9). Dalam laporan itu disebutkan sebagian besar negara mengalami perlambatan ekonomi dampak perang dagang, tidak terkecuali Amerika Serikat dan Tiongkok.
Pada triwulan II tahun 2019, perekonomian Amerika Serikat (AS) tumbuh melambat sebesar 2,1 persen (YoY). Ekspor Amerika Serikat terkontraksi sebesar -5,2 persen dampak perang dagang. Di sisi lain, impor meningkat sebesar 0,1 persen seiring dengan peningkatan permintaan domestik. Sejalan dengan perlambatan ekonomi tersebut, laju inflasi di Amerika Serikat sebesar 1,6 persen pada triwulan II tahun 2019.
Perekonomian Tiongkok pada triwulan II tahun 2019 tumbuh 6,2 persen (YoY). Meski masih tumbuh diatas 6 persen, kondisi ini merupakan yang terendah dalam 27 tahun terakhir. Meskipun tekanan eksternal dan volatilitas meningkat, perekonomian Tiongkok relatif stabil. Tiongkok memperketat impornya untuk menjaga kestabilan ekonomi domestik.
Sebagai antisipasi adanya kemungkinan pemotongan suku bunga oleh The Fed, beberapa negara akhirnya mulai menurunkan suku bunga kebijakannya pada triwulan ini. Malaysia, Filipina, Australia, dan India memangkas suku bunga. Namun, sebagian besar negara maju mempertahankan suku bunga kebijakannya. Di sisi lain, harga komoditas internasional bergerak turun selama triwulan II tahun 2019. Meski begitu, harga minyak mentah tetap meningkat. Didorong oleh langkah negara-negara OPEC+ yang melanjutkan pemangkasan produksi minyak mentah.
Ekonomi Indonesia pada triwulan II tahun 2019 tumbuh sebesar 5,05 persen (YoY), lebih rendah dibandingkan triwulan II tahun 2018. Momentum lebaran dan libur bersama tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Selain itu, pergeseran masa panen pada triwulan II tahun 2019 juga tidak dapat mendorong perekonomian. Dampak perang dagang masih mempengaruhi perekonomian Indonesia, baik ekspor maupun impor kembali terkontraksi pada triwulan ini. Secara spasial, hampir semua kawasan mengalami pertumbuhan positif, kecuali Maluku dan Papua. Pertumbuhan kawasan tersebut masih terkontraksi disebabkan turunnya produksi biji logam PT Freeport.
Perkembangan sektor fiskal, digambarkan dengan penerimaan perpajakan, dimana hingga akhir triwulan II tahun 2019 mencapai mencapai 38,57 persen dari target APBN 2019. Pendapatan Negara dan Hibah telah mencapai Rp898,76 triliun, meningkat dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Meskipun mengalami peningkatan, namun realisasinya terhadap target APBN relatif menurun. Di sisi lain, realisasi Belanja Negara meningkat 9,59 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018. Hal tersebut sejalan dengan komitmen Pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas pengelolaan APBN melalui perbaikan pola penyerapan belanja.
Sementara itu, Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga BI7DRR pada level 6,00 persen. Kebijakan tersebut ditempuh dalam rangka menarik aliran modal masuk sehingga dapat menciptakan kestabilan nilai tukar Rupiah. Sepanjang triwulan II tahun 2019, nilai tukar Rupiah cenderung bergerak fluktuatif. Rupiah menguat pada akhir triwulan II seiring dengan kembalinya optimisme investor terhadap kondisi perekonomian domestik. Pelonggaran kebijakan moneter global turut berperan mendorong kembalinya aliran modal masuk ke Indonesia dan penguatan Rupiah. Sementara itu, inflasi tahunan (YoY) pada April-Juni 2019 mencapai 2,83 persen, 3,32 persen, dan 3,28 persen, masih berada dalam rentang target yang ditetapkan sebesar 3,5 ± 1 persen.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan II tahun 2019 defisit sebesar USD2,0 miliar, turun dibandingkan triwulan sebelumnya yang mengalami surplus. Defisit yang terjadi disebabkan oleh meningkatnya defisit transaksi berjalan yang diiringi oleh berkurangnya surplus transaksi modal dan finansial. Sementara itu, surplus neraca perdagangan nonmigas meningkat sedangangkan defisit perdagangan migas semakin lebar.
Perlambatan ekonomi global diperkirakan terus berlanjut seiring dengan perang dagang yang belum menunjukkan tanda akan mencapai kesepakatan. Perdagangan global diprediksi semakin turun seiring dengan semakin banyaknya negara yang memperketat proteksi perdagangan. Sementara perekonomian Indonesia diprediksi tumbuh 5,2 persen pada keseluruhan tahun 2019, lebih rendah dari target. Prediksi tersebut dapat tercapai bergantung pada tiga sektor utama yaitu pertanian, pertambangan dan penggalian, serta industri pengolahan. Apabila kinerja sektor tersebut tidak mengalami perbaikan pada semester II, realisasi pertumbuhan pada tahun 2019 dapat lebih rendah.
Meski diperkirakan menguat, perekonomian domestik dibayangi beberapa risiko negatif yang dapat membuat pertumbuhan ekonomi lebih lambat. Pertama, tensi perang dagang antara Amerika dan Tiongkok masih tinggi yang dapat berdampak pada turunnya ekspor serta pertumbuhan investasi. Kedua, pergerakan harga komoditas internasional yang cenderung turun. Ketiga, realisasi pendapatan negara yang lebih rendah dari target. Keempat, kinerja industri pengolahan yang belum pulih. (Ad/*)