Bangkit Lebih Kuat
Yongki
Sebentar lagi kita memasuki hari kemerdekaan yang ke 77 tahun. Waktu yang cukup lama untuk melewati berbagai peristiwa penting di dalam negeri ini. Kita harus berani mengubah nasib. Puluhan tahun yang lalu kita dianggap budak oleh bangsa penjajah. Pikiran itu harus diubah. Kita tak boleh diam saja. Apa lagi mengatas namakan rakyat dalam perjuangan kita.
Ya, kita harus melakukan sesuatu. Bagaimanapun beratnya tantangan yang kita hadapi, saya kira, kita harus senantiasa optimis melihat masa depan Indonesia. Kita harus memelihara politics of hope. Saya percaya Indonesia tidak pernah kering dari kemungkinan perbaikan dan pembaruan di masa depan.
Jangan percaya bandit – bandit yang selama ini berkeliaran, kini mereka banyak mendapat kesempatan untuk menciptakan kerusuhan. Seluruh kota seakan terbakar. Ibarat percikan api, demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok – kelompok yang tidak bertanggung jawab itu hampir saja menyentuh sumbuh bom. Tinggal tunggu waktu kita diledakan, kebenaran dibungkam, sejarah mulai diplesetkan. Pancasila mau digantikan, Agama dirusaki. Jika kita masih tertidur, sama halnya kita meyetujui kehancuran Negeri ini.
Jika kita berhasil dihancurkan, jangan bermimpi Indonesia pulih dalam waktu singkat. Katanya kita yang paling lantang, dengan mamahami seluruh latar belakang bangsa ini. Tapi tidakkah kita tauh, betapa berdosanya kita membiarkan bangsa ini hancur. Kita melawan karena memang mereka harus dilawan. Kita tidak boleh membiarkan penindasan berlangsung terlalu lama, itu sama halnya kita menodai ideologi yang kita yakini. Tentu itu bukan keinginan kita.
Perhatikan! Pernyataan Soekarno, dalam Mencapai Indonesia Merdeka, tahun 1933:
“Urusan politik, urusan diplomasi, urusan onderwijs, urusan bekerja, urusan seni, urusan kultur, urusan apa saja dan terutama sekali urusan ekonomi haruslah di bawah kecakrawartian Rakyat itu: Semua perusahaan-perusahaan-besar menjadi miliknya staat, – staatnya Rakyat, dan bukan staatnya burjuis atau ningrat semua hasil-hasil perusahaan-perusahaan itu bagi keperluan Rakyat, semua pembagian hasil itu di bawah pengawasan Rakyat.”
Lihatlah rasa syukur para petani, para nelayan, para buruh, para pedagan kecil yang kita sebut kaum Marhaen itu. Mereka masih ingin menyaksikan langit sore di negeri ini amat jernih, dan di waktu pagi sari – sari cahaya mata hari masih terasa hangat di badan. Sehingga mereka dapat terus bermimpi melihat masa depan anak cucunya, semoga tidak semuram hari ini.
Itu adalah tanggung jawab kita, dan itu tidak merupakan hutang budi. Seperti halnya perjuangan para pendiri bangsa kita. Maaf kalau saya mengejutkan anda dengan kalimat ini, “jangan mengakui dirimu seorang Pancasilais sejati kalau kalau hanya mencari untung dari perjuangan ini”. Senasib dan seperjuangan, bersatu kita teguh untuk bangkit lebih kuat.
Penulis merupakan aktivis GMNI Kota Malang