Bahas Industri Baterai Kendaraan Listrik, Komisi VII DPR Berikan Catatan Kritis
Berita Baru, Jakarta – Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Tim Percepatan Pengembangan Electric Vehicle Battery BUMN, BPPT, LIPI, MIND.ID, Pertamina, PLN, Antam dan LEN, pada Senin (1/2).
Dalam paparannya, Ketua Tim Agus Tjahajana mengungkapkan nilai investasi pengembangan industri baterai kendaraan listrik tersebut mencapai angka sekitar USD13,4 miliar sampai 17,4 miliar untuk membiayai industri bahan baku, industry manufaktur, produksi kendaraan listrik, infrastruktur pendukung dan daur ulang..
“Nilai investasi baterai EV dari hulu sampai hilir, terendah sampai ke tertinggi untuk kapasitas sel hingga 140 Giga Watt Hour (GWh) sekitar USD 13,4 sampai dengan 17,4 miliar,” kata Agus
Pemerintah telah memetakan calon mitra konsorsium yang terdiri dari 10 pemain EV terbesar di dunia, di sisi lain pemerintah juga membentuk Indonesia Battery Holding yang terdiri dari Antam, MIND.ID, Pertamina dan PLN.
Dalam Roadmap disebutkan pada tahun 2022 sudah akan dilakukan produksi EV di Indonesia, meskipun Pabrik Cell to Pack (Pertamina dan PLN) baru akan beroperasi tahun 2025.
Meskipun mengapresiasi upaya pemerintah, anggota Komisi VII DPR RI Ratna Juwita Sari juga menyampaikan beberapa catatan kritis. Ia menilai legalitas industri ini tidak cukup dengan Peraturan Presiden (Perpres), sehingga harus ditingkatkan.
Ratna juga mengaku kecewa terhadap skema industri tersebut yang dinilai belum menunjukkan semangat untuk menuntaskan dari hulu sampai ke hilir.
“Saya agak sedikit kecewa ketua, terus terang, karena saya menganggap bahwa apa yang disampaikan tadi, bahwa kita harus memiliki komitmen dari hulu sampai ke hilir ini belum benar-benar terjadi,” tegas Ratna.
Menurutnya, kalau pemerintah mau memastikan aspek hulu-hilir tersebut, maka Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus dilibatkan menjadi bagian dari tim percepatan.
Menyikapi nilai investasi pengembangan industri yang mencapai USD,4 miliar sampai USD17,4 miliar, ia mewanti-wanti kontribusinya terhadap penerimaan negara jika BUMN dituntut untuk penyertaan modal.
“Nah, kalau misalnya ini BUMN harus menyertakan modal sebesar itu, target baliknya berapa tahun pak? Ini penting. Karena kita harus belajar banyak dari kasus freeport, gitu,” pungkasnya.
Selain itu Ratna juga mengingatkan pemerintah, bahwa pengembangan industri baterai kendaraan listrik tesebut sangat terkait dengan tambang, khususnya nikel. Karena pemenuhan bahan baku tersebut tidak mudah untuk dipenuhi sendiri oleh Indonesia untuk menutup kebutuhan industri skala besar.