Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Aksi tarian suka cita Suku Awyu dan Moi Sigin Papua di depan Gedung Mahkamah Agung, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (22/7/2024).
Aksi tarian suka cita Suku Awyu dan Moi Sigin Papua di depan Gedung Mahkamah Agung, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (22/7/2024). (Foto: Law Justice)

Aktivis Adat Papua Desak MA Lindungi Hutan Adat dari Perkebunan Kelapa Sawit



Berita Baru, Jakarta – Aktivis adat dari Papua Barat menggelar upacara adat di luar Gedung Mahkamah Agung (MA) Jakarta hari ini, Senin (22/7/2024). Mereka menyerukan perlindungan terhadap tanah dan hutan adat mereka dari ancaman ekspansi perkebunan kelapa sawit.

Perwakilan suku Awyu dan Moi melakukan doa dan tari di depan MA saat pengadilan meninjau banding mengenai pencabutan izin empat perusahaan kelapa sawit yang terancam menghancurkan hutan adat mereka. Hendrikus “Franky” Woro, seorang pria adat Awyu, mengungkapkan, “Kami telah menempuh jalan panjang dan mahal dari Tanah Papua hingga Jakarta, meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami atas tanah yang dirampas oleh perusahaan kelapa sawit.” seperti dikutip dari Merah Putih.

Gugatan hukum ini, yang diajukan di Jayapura, menentang rencana perusahaan sawit Malaysia untuk membuka 26.326 hektar hutan primer, yang menurut Greenpeace, berpotensi menghasilkan emisi sekitar 23 juta ton CO2—setara dengan 5 persen emisi tahunan Indonesia yang ditargetkan untuk tahun 2030.

Suku Awyu juga terlibat dalam banding terhadap dua perusahaan sawit lainnya, yang sebelumnya ditolak izin penebangannya oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pencabutan izin ini diharapkan menyelamatkan 65.415 hektar hutan hujan yang masih asli, atau enam kali luas wilayah kota Paris.

“Kami ingin membesarkan anak-anak kami dengan bantuan alam dan bahan yang kami panen dari hutan. Kelapa sawit akan merusak hutan kami, kami menolaknya,” ujar Rikarda Maa, seorang perempuan adat Awyu.

Masyarakat adat Moi juga berjuang melawan rencana pengembangan perkebunan kelapa sawit di ribuan hektar hutan adat mereka. Tigor Hutapea dari Pusaka Bentala Rakyat menekankan pentingnya keadilan lingkungan dan iklim dalam kasus ini, yang berdampak pada seluruh masyarakat Indonesia.

Menurut Global Forest Watch, sejak 1950, lebih dari 74 juta hektar hutan hujan Indonesia telah dirusak untuk pengembangan berbagai komoditas, termasuk kelapa sawit.