Dunia yang Antroposentris
Pada suatu sore yang cerah, saya berjalan di trotoar Jatinangor. Ketika hendak menyeberang untuk menuju toko serbaada, saya tiba-tiba menyadari sesuatu—jalanan dipenuhi oleh kendaraan. Di sekeliling saya, orang-orang berlalu-lalang. Pinggiran jalan diisi oleh warung, bangunan, maupun gang yang dipenuhi manusia. Saya agak terkejut ketika menyadari bahwa di mana-mana ada manusia dengan kebutuhannya.
Mungkin, karena saya biasa melewati trotoar Jatinangor, saya merasa wajar dengan kehadiran semua manusia-manusia itu. Namun, karena hari itu saya membaca tentang sejarah manusia purba, kepala saya mau tidak mau membayangkan keadaan trotoar Jatinangor pada tahun 1021 atau bahkan tahun 21 Masehi. Pada masa itu, pastinya tidak ada trotoar, yang ada mungkin hanya pohon-pohon besar dengan monyet-monyet berukuran manusia bergelantungan.
Pada masa kini, makhluk nonmanusia yang bisa saya lihat di trotoar hanyalah kucing jalanan. Kemudian, saya memasuki toserba dan menemukan makhluk nonmanusia di dalamnya. Saya melihat potongan daging ayam, sapi, telur, dan nugget. Saya cukup lama memandangi potongan-potongan daging itu untuk memikirkan bagaimana bisa makhluk-makhluk ini dipajang dengan begitu telanjang dan komersial. Seorang Ibu hamil mengambil satu bungkus potongan daging ayam yang diberi harga tidak sampai sepuluh ribu rupiah, lalu dia mengambil beberapa potong nugget dan membawanya ke timbangan. Ibu itu, termasuk saya dan seluruh manusia mungkin telah hidup di dunia yang antroposentris.
Menurut KBBI, antroposentris adalah berpusat kepada manusia, sedangkan antroposentrisme adalah ajaran yang menyatakan bahwa pusat alam semesta adalah manusia. Sekarang, segala hal yang hadir di dunia dapat eksis dan hancur tergantung berguna atau tidaknya hal itu pada kehidupan manusia. Kendaraan yang terbuat dari besi dan mesin mengisi jalanan untuk mempermudah manusia bepergian, ayam dan sapi diternakkan agar dapat dimakan oleh manusia, kucing dan anjing menjadi hewan domestikasi agar menemani kehidupan manusia, pepohonan terus ditebang untuk kebutuhan manusia, udara tercemar oleh asap pabrik yang mengolah barang-barang manusia, serta segala hal lainnya. Betapa hebatnya manusia yang telah mampu menguasai dunia.
Memangnya apa yang membuat manusia sehebat itu? Sampai hampir segalanya hadir karena dan untuk manusia. Kalau melihat jauh ke belakang, ketika manusia hanyalah sekumpulan binatang yang menetap di gua-gua, ketakutan pada singa dan serigala, memakan hanya yang mampu ditaklukkan oleh tangan telanjang—segala hal pada masa kini tampak seperti perubahan yang tidak terbayangkan.
Bagaimana manusia mampu mendominasi dunia? Apa yang begitu istimewa dalam diri manusia sampai bisa berada di titik puncak kekuasaan? Mengapa tidak simpanse yang mengendarai mobil-mobil di jalanan? Mengapa bukan tikus-tikus yang meneliti tubuh manusia di laboratorium? Atau, sapi yang menggunakan tenaga manusia untuk keperluan ekonomi dan agrikultura?
Dalam buku Homo Deus, Yuval Noah Harari menulis, “Dari semua binatang di dunia, hanya Homo Sapiens yang memiliki kesadaran pikiran. Pikiran ialah hal yang sangat berbeda dari jiwa … pikiran adalah sebuah aliran pengalaman-pengalaman subjektif, seperti rasa sakit, senang, marah, dan cinta” (Homo Deus, 2018:122). Manusia mampu membunuh ribuan ayam setiap hari dan menganggapnya sebagai hal yang wajar, tetapi membunuh seorang manusia adalah hal terlarang dan hal yang melanggar hukum. Mungkin, itu karena ayam tidak memiliki kesadaran pikiran, sehingga tidak ada polisi ayam atau pengacara ayam yang mampu menuntut manusia di pengadilan binatang.
Namun, apakah binatang nonmanusia (ayam, babi, sapi, dan lainnya) benar-benar hanyalah sekumpulan daging yang berkotek kalau ditendang, menggonggong kalau dilempar—seperti mesin motor yang meraung ketika dihidupkan?
Lalu, kenapa ada Deklarasi Cambridge? Dalam deklarasi yang ditulis pada 7 Juli tahun 2012 itu, para ahli neurobiologi dan sains kognitif menulis, “Bukti konvergen menunjukkan bahwa binatang-binatang nonmanusia memiliki substrata keadaan sadar secara neuroanatomis, neurokimiawi, dan neuropsikologis beserta kapasitas untuk perilaku-perilaku sengaja.” Itu artinya, anjing yang menggonggong ketika dilempar bukanlah reaksi tanpa sadar, melainkan sebuah reaksi yang memproses aksi lempar tersebut. Dan, sapi yang dipisahkan dari induknya beberapa hari setelah lahir memiliki tekanan mental yang sama ketika manusia dipisahkan dari anaknya. Kucing yang baru melahirkan akan menjadi agresif untuk melindungi anak-anaknya, sama seperti seorang Ibu yang selalu ingin melindungi bayinya.
Namun, mungkin kata “kesadaran pikiran” akan selalu dihubung-hubungkan dengan teori klasik Descartes tentang cogito ergo sum, yang bila diterjemahkan menjadi “aku berpikir maka aku ada”. Descartes juga mengemukakan bahwa hanya manusia yang merasa dan berhasrat, sedangkan semua binatang lain adalah otomat tanpa pikiran. Padahal, kucing mengeong tanpa henti ketika memiliki hasrat bercinta, mengeong dengan nada memelas ketika lapar, dan mencakar ketika saya tubuhnya diremas terlalu keras.
Hal itu menunjukkan bahwa binatang lain juga memiliki hasrat, emosi, dan kesadaran. Manusia tidak berbeda dari simpanse, tikus, atau anjing dalam hal kesadaran, sensasi, dan emosi. Hal besar yang membedakan manusia dan binatang lain adalah kemampuannya dalam bekerja sama dan menciptakan realitas intersubjektif.
Saya bisa membeli suatu barang di toko menggunakan kertas berwarna karena saya dan pemilik toko itu percaya terhadap nilai kertas itu, saya bisa bergabung dalam suatu demo yang dipenuhi orang-orang asing karena kami percaya terhadap suatu nilai tertentu (seperti hak asasi manusia, agama, dan lainnya). Berbeda dengan binatang nonmanusia yang tidak bisa membuat suatu ilusi yang dapat dipercayai bersama, itu sebabnya tidak ada pengacara kera, dokter lebah, atau mahasiswa tikus.
Namun, tidak berarti bahwa ayam-ayam yang dikurung di kandang sempit tidak merasa tertekan, sapi-sapi yang disembelih sembarangan tidak menderita, atau anjing-anjing yang disiksa tidak merasakan apa-apa. Di dalam dunia yang antroposentris, kemanusiaan akan ikut hancur jika manusia menyepelekan kehidupan-kehidupan makhluk lain. Kehidupan yang tidak lebih inferior dari kehidupan manusia. Mungkin, dunia antroposentris bukanlah hal bagus, melainkan hal yang mendorong kemanusiaan ke ujung jurang kehancuran. Berhenti menganggap bahwa binatang hidup untuk manusia adalah salah satu cara agar dunia antroposentris bisa diantisipasi.
Sayyidatul Imamah, biasa dipanggil Dayuk, saat ini sedang menempuh kuliah semester 5 di Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Sejak pandemi, ia berkarya di rumahnya yang terletak di Serreh, Sumenep, Madura. Penulis telah menerbitkan 7 buku sejak tahun 2016, yaitu The Hidden Secret (Widia AP, 2016), Volvariella Volvavea (Arsha Teen, 2017), Sejarum Peniti Sepunggung Gunung (Intishar, 2017), Banana Choreo (Laksana Diva Press, 2018), Pantomime (BIP Gramedia, 2018), Penyap (Storial Publishing, 2019), dan Redum (Storial Publishing, 2010). Penulis juga telah memenangkan beberapa penghargaan, antara lain Juara 1 lomba cerpen Karnaval Sastra Unpad 2019, Juara 1 Storial Punya Cerita 2020, Juara Favorit cipta cerpen Festival Sastra UNS 2020. Penulis bisa dihubungi di Instagram @sayyidatul_imh, Twitter @Sayyidatul_imh, email sayyidatul.imamah18@gmail.com.