Bahaya Status Tersangka Imam Nahrawi
Berita Baru, Jakarta – Publik kembali dikejutkan dengan pemberitaan atas pengembangan kasus dugaan korupsi dana hibah KONI tahun 2018 yang akhirnya tururt menyeret nama Menteri pemuda dan olahraga (Menpora) Imam Nahrawi.
Naiknya status imam nahrawi dari saksi menjadi tersangka dengan sangkaan menerima 26,5 miliar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menuai beragam tanggapan masyarakat termasuk Advocad muda, Muhammad Rosuli SH.,MH.
Dari siaran pers yang diterima Beritabaru.co, selain mengungkapkan keprihatinanya, sebab menurutnya sosok Menpora yang menjabat pada periode 2014- 2019 tersebut dikenal baik dan juga berprestasi, hal itu bisa dilihat dari suksesnya pelaksanaan Asian Games 2019, Menurut Rosuli, ada dua hal yang ia soroti di musibah yang dialami Menpora, yakni:
Yang pertama, penetapan Imam Nahrawi sebagai tersangka oleh KPK bermuatan politis, hal itu disinyalir dari proses penetapannya yang muncul ditengah riuh pergantian pimpinan pada tubuh KPK sekaligus santernya revisi UU KPK oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Sehingga dimungkinkan, hal itu menjadi momentum pengalihan isu publik, atau bahkan ada bentuk tekanan-tekanan di luar hukum, yang kemudian merusak Marwah hukum itu sendiri.
Kedua, pelabelan status tersangka pada Imam Nahrawi tanpa di imbangi narasi yang mampu menjelaskan pada masyarakat awam khususnya, bahwa proses peradilan itu menggunakan asas praduga tak bersalah sesuai dengan Kitab undang hukum acara pidana (KUHAP) butir ke 3 huruf C dan UU Kehakiman pasal 8 ayat 1.
Artinya, seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka itu belum tentu bersalah, karena masih bisa dicabut status hukumnya ketika tidak ditemukan adanya alat bukti yang bisa membuktikan sangkaan.
Masih menurut Rasul, mestinya dimunculkan narasi demikan oleh KPK, sehingga publik tidak tergesa- gesa menyimpulkan kalau status tersangka itu sama dengan bersalah.
“Sebagai praktisi hukum di sini saya berpesan kepada KPK, hati-hati dalam menggunakan hukum pidana, karena hukum pidana bagai pedang bermata dua, kalau salah dalam penegakannya dia bisa melukai seseorang yang tidak bersalah atau sebaliknya dia juga bisa melukai kehormatan hukum itu sendiri” Papar Rasul.
Sebagai penutup, ia mengutip sebuah adagium, “Lebih baik melepaskan seribu orang yang bersalah daripada memenjarakan satu orang yang tidak bersalah” pungkasnya.