Bauran Energi Hanya 11,5 Persen, Ratna Juwita Kritisi Kinerja Kementerian ESDM
Berita Baru, Jakarta – Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggelar Rapat Kerja dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pada Selasa (19/1) di Senayan Jakarta.
Dalam Raker tersebut Menteri ESDM menyampaikan poin-poin strategis program kerja tahun 2021, potensi cadangan dan kebijakan pemanfaatan gas alam, strategis percepatan kendaraan listrik, dan pengembangan produk hilir batubara berupa dimethyl ether (DME) untuk menekan impor LPG.
Secara spesifik Arifin Tasrif menguraikan kebijakan terkait energi baru terbarukan dan konversi energi (EBTKE). Dalam major project 2020-2024 ia menguraikan adanya target tambahan pembangkit listrik 24.307 MW, dimana 4.771 MW diantaranya adalah pembangkit EBT.
Selain itu Arifin juga menyampaikan rencana Konversi Pembangkit Listrik BBM ke Gas Bumi sebanyak 52 pembangkit atau EBT yang tersebar di 200 lokasi di Indonesia.
Anggota Komisi VII DPR RI Ratna Juwita Sari kemudian menanggapi kinerja pemerintah terkait pemenuhan target bauran energi sebagaimana yang telah dimandatkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan RPJMN 2020-2024.
Legislator Fraksi PKB asal Tuban tersebut mengingatkan target bauran energi secara nasional pada tahun 2025 harus mampu mencapai 23 persen, dimana telah disepakati capaian tahun 2020 adalah sebesar 13 persen.
“Namun sampai akhir Desember 2020 ternyata dilaporkan bahwa bauran itu baru sampai di 11,5 persen. Kendala apa sih yang sebenarnya dihadapi oleh kementerian sehingga target tersebut tidak terpenuhi?,” ungkap Ratna lugas.
Secara khusus Ratna meminta pemerintah memetakan kendalanya, sehingga dapat diupayakan dukungan yang tepat untuk memastikan target bauran energi tahun 2021 dapat dipenuhi.
“Misalnya kendalanya telah terpetakan, kira-kira support apa yang dibutuhkan supaya kedepan, utamanya pada tahun 2021 target bauran energi baru terbarukan dapat dicapai.” ujarnya.
Masih terkait EBT, Ratna juga mempertanyakan implikasi pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai yang membutuhkan pasokan listrik cukup besar di masa depan. Padahal lebih dari 50 persen pasokan listrik dihasilkan dari PLTU yang bahan bakarnya masih didominasi batubara.
“Kalau misalnya percepatan kendaraan listrik berbasis baterai ini tidak sesuai dengan percepatan transformasi bahan bakar yang dibutuhkan untuk mensuplai PLTU, maka otomatis harus menggunakan batubara lagi. Lah sama aja bohong,” ungkapnya.