Mengawali 2021 dengan Peluncuran Buku, Ini Kata Anak-Anak Muda PDSt untuk Indonesia Maju
Berita Baru, Jakarta – Peaceful Digital Storytelling (PDSt), salah satu platform digital yang dikembangkan untuk pemuda Indonesia cinta damai, mengundang empat (4) narasumber untuk meramaikan acara peluncuran buku Cerita Baik: Perdamaian dan Keragaman, Minggu (3/1), dengan berbagi gagasan untuk Indonesia Maju.
Para narasumber tidak lain adalah perwakilan dari tiga puluh empat (34) penulis yang sudah menggoreskan cerita baiknya dalam buku yang sedang diluncurkan.
Mereka adalah Lamtiar (SMAN 2 Surabaya), Nor (SMAN 8 Surabaya), Raisa (SMAN 31 Jakarta), dan Natan (SMA Regina Pacis Surakarta). Mereka diundang untuk menyampaikan secara virtual kepada sekitar 100 peserta tentang apa yang sudah mereka tulis dalam buku.
Dengan dipandu oleh Anik Nur Qomariyah dari Wahid Foundation, masing-masing dari mereka mendapatkan 10 menit untuk berkisah.
Dalam acara yang didukung oleh Wahid Foundation dan US Embassy ini, Lamtiar diberi kesempatan pertama untuk menyampaikan gagasannya. Ia bicara tentang peran pemuda untuk Indonesia Maju.
“Pertama, sebagai pemuda kita semua penting untuk menyadari bahwa negara maju tidak bisa dinilai hanya dari bentuk material kemegahan saja. Ada hal lain di luar bangunan yang megah, yaitu mental dan keberanian,” ungkap siswi yang mengagumi Najwa Sihab ini.
Sesi kedua jatuh pada Raisa. Berbeda dengan Lamtiar yang fokus pada cita-cita, Raisa tertarik untuk bicara tentang hoaks: bagaimana pemuda harus melawan berita bohong.
Dengan gaya khas pendongeng, Raisa memulai sesinya dengan menceritakan dua dongeng, yakni “ulah ular” dan “buaya putih”, yang kemudian disusul dengan pembedaan antara misinformasi dan disinformasi.
“Yang paling awal, kita harus tahu apa bedanya disinformasi dan misinformasi. Kisah tentang ular adalah disinformasi, sedangkan kisah buaya putih itu misinformasi,” jelas siswi yang mengaku banyak terinspirasi oleh bundanya tersebut.
“Disinformasi itu berita bohong yang disengaja, sedangkan misinformasi tidak disengaja. Namun, meski beda, keduanya sama-sama berita bohong yang berbahaya dan kita harus hati-hati,” imbuhnya.
Narasumber selanjutnya adalah Natan. Natan memilih tema yang seirama dengan Raisa. Jika Raisa fokus pada klasifikasi, maka Natan lebih pada trik untuk terhindar dari hoaks.
“Ada empat hal yang bisa kita lakukan untuk menangkal hoaks. Pertama, toleransi. Kedua, jangan buru-buru menilai seseorang. Ketiga, kita harus membiasakan berpikir kritis dan terakhir, sebagai pemuda kita harus turut menyebar konten-konten baik dan positif di semua akun media sosial kita,” ujar Natan.
Di sela mereka bicara, beberapa peserta, termasuk para penanggap dari Wahid Foundation, Kalis Mardiasih dan Indra Dwi Prasetyo, memberikan komentar baik sekaligus khas kepada narasumber. Tidak terkecuali adalah setelah Nor atau yang akrab dipanggil Nuni ini bicara tentang gender.
Sebagai siswi kelas XII, Nor berani mengambil tema gender. Tema yang disitir oleh pemandu acara sebagai isu yang melekat dengan mahasiswa.
Nor menyebut, jender tidaklah soal jenis kelamin, tetapi tentang pembagian tugas sosial. Di sini, lanjutnya, siapapun penting untuk bisa membedakan antara peran sosial dan peran biologis.
“Memasak, menyapu, dan sebagainya tidak bisa disebut sebagai tugas perempuan. Soalnya laki-laki pun bisa melakukannya, toh cuma butuh kaki dan tangan. Ini beda dengan menyusui dan melahirkan, yang notabene hanya bisa dilakukan perempuan,” jelas Nor dengan begitu bersemangat.
Acara yang diselenggarakan dengan menggandeng beberapa SMA/SMK di Jawa ini dipungkasi dengan komentar dari dua penanggap, Kalis dan Dwi. Keduanya sama-sama bicara tentang privilege yang dimiliki anak-anak muda yang terlibat dalam PDSt.
“Bagaimanapun, privilege ini harus dioptimalkan secara baik oleh teman-teman. Sebab dengan inilah teman-teman bisa memiliki akses yang orang lain tidak mempunyainya,” ujar Kalis dan Dwi secara bergantian.