Mengintip Lika-liku Kehidupan Abdi Pesantren Lewat Novel Khaddam
Berita Baru, Novel – Pernah dengar khaddam? Sejujurnya, saya pun pertama kali mendengar istilah ini ketika membaca novel yang bakal dibahas kali ini, yaitu Khaddam: Lembar Kisah Sang Abdi Pesantren.
Buku berukuran kecil dan tebal dengan cover berwarna pink ini dinobatkan sebagai Buku Fiksi Dewasa Terbaik di Islamic Book Award 2016. Nah, Islamic Book Award ini merupakan bagian dari serangkaian acara perhelatan akbar Islamic Book Fair.
Lalu, apa yang menjadikan novel ini menarik?
Sebentar, kita bahas dulu apa isi novel ini, ya.
Mengenal Sosok Khadimah Pesantren
Latar belakang novel ini adalah pesantren di Madura. Khaddam atau khadimah sendiri dapat diartikan sebagai abdi. Dalam konteks novel ini, khaddam berarti santri yang mengabdi di keluarga pesantren alias keluarga Pak Kyai yang memiliki pesantren. Rumah Pak Kyai biasanya berada di sekitar pesantren dan ditinggali oleh Bu Nyai dan anak-anaknya.
Santri yang dijadikan khaddam memiliki tugas-tugas inti untuk mengurus urusan rumah Pak Kyai, antara lain membersihkan rumah, memasak, mengasuh anak, dan lain-lain. Khaddam laki-laki biasanya bertugas menjadi supir dan membersihkan kebun.
Meski punya tugas inti sebagai khaddam, mereka tetap santri yang wajib belajar di sekolah, mengaji ajaran agama, dan beraktivitas sebagai santri umumya. Namun tetap saja, fokus kegiatan hariannya adalah untuk melayani keluarga pesantren.
Kisah dalam novel Khaddam berpusat pada tokoh Sari, seorang khaddam atau abdi pesantren yang mulai tidak kerasan karena lelah diperlakukan tidak adil oleh bu Nyai. Ia merasa, Bu Nyai telah memperlakukan khaddam dengan seenak hati, tanpa memikirkan kondisi khaddam itu sendiri.
Ketika awal terpilih sebagai khaddam, orangtuanya sangat bangga sebagaimana orangtua lain ketika anaknya terpilih menjadi khaddam. Bagi mereka, mengabdi di keluarga Pak Kyai merupakan kesempatan luar biasa untuk ngalap berkah dari sosok yang dihormati tersebut.
Tak hanya Sari, khaddam lain sebenarnya juga merasakan hal serupa. Namun, mereka menganggap bahwa mengadi di pesnatren merupakan sebuah rezeki dan keberkahan yang istimewa.
Sari tak berpikir begitu. Setelah merasakan kelelahan lahir batin bekerja menjadi khaddam, Sari pun mulai berpikir bagaimana keluar dari kungkungan itu? Lalu ia berpikir, menikah adalah solusi. Karena kalau menikah ia tidak lagi perlu mengabdi di sana.
Masalahnya, menikah dengan siapa? Siapa yang mau mendampingi seorang khaddam sepertinya, tak punya apa-apa? Tidak, Sari tidak menyerah. Ia bahkan menyusun daftar berisi 3 nama pria yang mungkin bisa menjadi suaminya.
Sayang, seiring berjalannya waktu, nama-nama itu terhapus satu per satu. Kecuali, nama terakhir. Apakah Sari bakal berakhir dengan nama terakhir dalam daftarnya itu?
Kesan Setelah Membaca Khaddam
Saya cukup terpancing emosi ketika menyaksikan perlakukan Bu Nyai kepada khaddam-khaddam di rumahnya. Namun saya memahami, di sisi lain, praktek itu mungkin dianggap “biasa” di lingkungan pesantren. Sudah sewajarnya khaddam berbakti pada keluarga pesantren, dan tak masalah jika Bu Nyai bersikap keras terhadap khaddam.
Tapi tak terbayangkan sih lelahnya bekerja di rumah Bu Nyai. Tak ada waktu bahkan untuk “sekadar” sakit kepala. Belum lagi membayangkan kata-kata pedas Bu Nyai atau anaknya, waduh… mules. Pantas saja kalau diantara khaddam yang nrimo itu muncul sosok Sari yang berpikir, apakah demi berkah itu ia harus terima dihina-hina?
Secara garis besar, novel ini menarik karena Khaddam memotret fenomena yang mungkin terlewatkan ketika kita bicara mengenai pesantren. Setidaknya jadi ada gambaran baru mengenai ada apa di balik keluarga Kyai yang notabene disegani. Tentu saja, tidak semua anggota keluarga Kyai bersikap semena-mena. Dalam kisah Khaddam pun, Pak Kyai dan anak-anaknya termasuk orang-orang yang mampu menghormati khaddam.
Latar belakang novel ini yang mengambil setting di Madura juga membuat ceritanya lebih kaya. Soalnya, sang penulis, Diyana Millah Islami, memasukkan unsur budaya setempat yang cukup kental, mewakili budaya pesantren maupun Madura. Kita mendapat khazanah baru mengenai bahasa Madura, tradisi, dan sebagainya.
Khaddam merupakan cerita yang manis, namun banyak orang bisa menebak ending-nya. Wajar, meski perjalanan Sari menemukan tambatan hati, bahagia dan patah hatinya Sari itu tetap menyenangkan buat diikuti. Kerja-kerja khaddam juga dikisahkan secara detail, menyatu bersama kisah utama milik Sari.
Tidak ada perjuangan yang enak. Kalau kita ikhlas dan tulus dalam setiap perjuangan, maka janji Allah itu nyata. Tsaaaaaaah.
Jadi, Sari menikah dengan siapa, ya?