Survei Indikator: 38,7% Responden Tidak Setuju Skema Pelatihan Online Kartu Prakerja
Berita Baru, Jakarta – Berdasrkan hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis Minggu (7/6) menunjukkan sebanyak 38,7% responden tidak setuju skema pelatihan online Kartu Prakerja, 10,2% sangat tidak setuju, 25,3% cukup setuju, 4,5% sangat setuju, dan 21,4% tidak tahu/tidak menjawab. Demikian dikutip Tempo.
Survei tersebut dilakukan pada 16-18 Mei 2020 dengan 1.200 sampel responden yang dipilih acak dari kumpulan sampel acak survei tatap muka langsung Indikator Politik Indonesia Maret 2018-Maret 2020.
Begini rumusan pertanyaan pada survei tersebut: “Pemerintah menggulirkan program Kartu Prakerja dengan dana sebesar Rp5,6 triliun. Setiap peserta mendapatkan saldo Rp3,55 juta. Namun Rp1 juta di antaranya tidak bisa dipakai secara tunai dan digunakan untuk mengikuti kelas pelatihan daring/online. Seberapa setuju ibu/bapak penggunaan kartu prakerja untuk pelatihan online?”
Mereka yang tidak setuju berpendapat bahwadana itu sebaiknya disalurkan untuk sembako (34%), uang tunai (32,3%), pelatihan praktis di lapangan (11,5%), modal UMKM (8,9%), padat karya (7,9%), lainnya (1,5%), tidak tahu/tidak jawab (3,9%).
Tidak ada persoalan dengan upskilling, pelatihan online/offline, menjadi pekerja atau wirausaha, memanfaatkan perkembangan teknologi digital dengan end-to-end technology, menggunakan sarana video pelatihan/webinar dan sejenisnya.
Masalahnya adalah mengapa harus berbayar? Sehingga dana negara sebanyak Rp.5.6 triliun mesti teranggar via platform digital. Sementara itu, tidak pernah ada argumentasi pemerintah yang masuk akal hingga hari ini untuk membenarkannya.
Jika program prakerja tidak disinggung dan dikritik, mungkin 8 gelombang telah berlangsung hingga saat ini (asumsi 200 ribu orang per gelombang) dengan 1,6 juta peserta. Artinya Rp1,6 triliun berpotensi mengalir ke rekening platform digital untuk membeli video.
Selanjutnya, evaluasi prakerja tidak bisa sekadar akal-akalan dengan menambah pelatihan offline ataupun tatap muka. Begitu juga tidak bisa semerta-merta menambah jumlah platform digital dan lembaga pelatihan yang terlibat. Tidak bisa dengan hanya mendengungkan prakerja akan menghasilkan wirausahawan baru. Tidak bisa juga dengan retorika menambah kuota peserta. Tidak usah cari celah bisnis di sini.
Berpikir untuk menambah jumlah platform digital dan lembaga pelatihan misalnya adalah pikiran manipulatif yang hanya bertujuan untuk melegitimasi model kegiatan komersial ini. Fakta menunjukkan dari 2.000-an video cuma 1.000-an terjual. Dari 8 lembaga pelatihan, Ruangguru menguasai kue 68%.
Artinya, berapa pun jumlah platform digital dan lembaga pelatihan ditambah, dominasi pasar tetap berlangsung oleh pemain yang itu-itu saja. Bahkan bisa jadi ada ‘integrasi horizontal’ ketika platform digital menggunakan bendera berbeda-beda tapi klannya itu-itu saja hanya untuk mengakali kebijakan penambahan jumlah platform digital.