Aksi Damai Mahasiswa Papua Direpresif, KontraS Kecam Pelanggaran Hukum dan HAM
Berita Baru, Jakarta – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama KontraS Tanah Papua dalam siaran persnya, mengecam keras tindakan represif aparat terhadap aksi damai Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan masyarakat sipil dalam peringatan deklarasi kemerdekaan West Papua pada 1 Desember 2024. Insiden ini terjadi di beberapa wilayah, termasuk Jakarta, Yogyakarta, Bali, dan Makassar, dengan pola kekerasan yang seragam berupa pemukulan, penembakan water cannon, gas air mata, dan penangkapan sewenang-wenang.
“Kami melihat ini sebagai bukti nyata nihilnya perlindungan hukum dan HAM bagi rakyat Papua. Aparat bertindak arogan dan melanggar prinsip-prinsip penggunaan kekuatan yang semestinya menjamin rasa aman warga,” ujar Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti.
Di Yogyakarta, ketegangan bermula ketika massa aksi mulai membubarkan diri, disusul oleh perebutan bendera Bintang Kejora oleh aparat. Situasi serupa terjadi di Makassar, di mana aparat kepolisian dan TNI terlibat dalam pemaksaan hingga tindak kekerasan fisik di depan Asrama Papua. Seorang asisten pembantu bantuan hukum dari LBH Makassar juga turut ditangkap.
KontraS menyoroti pelibatan TNI dalam pengamanan massa aksi di Jakarta dan Makassar, yang dianggap tidak memiliki dasar hukum. “TNI tidak memiliki tupoksi dalam pengamanan aksi massa. Ini melanggar UU Nomor 34 Tahun 2004 dan menunjukkan cacat formil dalam penerapan MoU TNI-Polri terkait keamanan,” tegas Fatia.
Selain itu, KontraS juga mengecam pelibatan organisasi masyarakat (ormas) dalam pengamanan aksi di Bali dan Yogyakarta, yang dinilai memicu konflik horizontal. “Ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga rentan menjadi alat kekuasaan tanpa mekanisme pengawasan yang transparan,” tambahnya.
KontraS menyerukan agar:
- Kapolri segera mengevaluasi penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat dan memproses hukum pelaku kekerasan.
- Komnas HAM memberikan perlindungan dan memulihkan hak-hak korban tindak represif.
“Pengibaran Bintang Kejora seharusnya dimaknai sebagai simbol budaya, bukan ancaman. Pendekatan represif hanya akan memperdalam luka dan ketegangan,” pungkas Fatia, mengingatkan tentang pendekatan humanis yang pernah diterapkan oleh Presiden Gus Dur.
Pelanggaran ini dinilai KontraS melanggar UUD 1945, UU HAM, serta berbagai peraturan internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, menegaskan pentingnya tindakan korektif yang segera dan menyeluruh.