Petani Panjo’jo Tolak Penggusuran untuk Perluasan Bumi Perkemahan Caddika
Berita Baru, Makassar – Petani Panjo’jo dari Kampung Caddika, Desa Pa’bentengang, Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa, tengah menghadapi ancaman penggusuran lahan mereka seiring dengan rencana Pemerintah Kabupaten Gowa untuk memperluas Bumi Perkemahan Caddika. Sejak tahun 1930, petani setempat telah menggarap lahan tersebut, namun rencana perluasan yang melibatkan sekitar 10,16 hektar lahan yang selama ini mereka kelola telah menimbulkan konflik.
Pada 11 Juli 2023, Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Pemkab Gowa mengeluarkan Surat Perintah Pengosongan lahan, yang didasarkan pada Sertifikat Hak Pakai Instansi Nomor 0001 dengan Surat Ukur Nomor 00113/Pabbentengan/1975. Surat ini memerintahkan pengosongan lahan yang selama ini digunakan petani untuk bercocok tanam. Surat ini memicu kemarahan dan penolakan keras dari warga.
Razak, APBH LBH Makassar dalam siaran persnya yang terbit pada Selasa (13/7/8), menyatakan, “Hal ini sangat merugikan warga yang bertani di atas lahan tersebut. Bahwa warga secara turun temurun mengelola dan memanfaatkan lahan tersebut seharusnya memiliki hak untuk memperoleh hak baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif untuk berdaulat atas tanah mereka.” Tanggapan ini menekankan perlunya penghormatan terhadap hak-hak petani yang telah lama bergantung pada lahan tersebut untuk kehidupan mereka.
Sebagai respons, Petani Panjo’jo, melalui tim hukum mereka, telah mengajukan pengaduan kepada Ombudsman Provinsi Sulawesi Selatan dan Bupati Gowa terkait Surat Perintah Pengosongan tersebut. Mereka juga mengajukan permohonan Surat Keterangan Penguasaan Fisik dan rekomendasi penerbitan Pajak Bumi dan Bangunan, namun belum mendapatkan tanggapan dari Kepala Desa Pa’bentengang.
Penggusuran sepihak ini bukanlah pertama kali terjadi. Pada tahun 2004, Pemerintah Kabupaten Gowa juga pernah melakukan penggusuran terhadap lahan seluas sekitar 4 hektar yang dikuasai oleh sembilan kepala keluarga di kawasan yang sama. Meskipun tanah tersebut akhirnya kosong setelah penggusuran, warga kembali menggarapnya karena tidak ada tindak lanjut dari pemerintah. Permasalahan ini berawal dari pengukuran lahan yang dilakukan pada tahun 1974 untuk pembangunan kawasan perkemahan dan terbitnya Sertifikat Hak Pakai (SHP) pada tahun 1975 atas nama Pemerintah Gowa.
Pada tahun 2020, pemerintah melakukan pengukuran ulang, yang mengklaim bahwa SHP sebelumnya hilang dan menerbitkan SHP baru. Hal ini memicu penolakan dari masyarakat yang tidak setuju dengan pengukuran dan meminta agar proses tersebut dihentikan.
Petani Panjo’jo kini berdiri teguh melawan rencana perluasan yang dianggap mengabaikan kesejahteraan mereka dan hak-hak mereka atas lahan yang telah mereka kelola selama puluhan tahun.