Komnas HAM Apresiasi Penghentian Penyelidikan Meila Nurul Fajriah
Berita Baru, Jakarta – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyampaikan apresiasi atas penghentian penyelidikan kasus pencemaran nama baik yang menimpa pembela HAM, Meila Nurul Fajriah, pengacara dari YLBHI. Kasus ini dilaporkan oleh IM dan ditangani oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menyatakan bahwa keputusan penghentian penyelidikan ini adalah langkah yang tepat. “Komnas HAM mengapresiasi atas penetapan penghentian penyelidikan oleh Polda Daerah Istimewa Yogyakarta atas kasus Sdri. Meila Nurul Fajriah,” ujarnya pada Kamis (8/8/2024).
Selain itu, Komnas HAM juga mendorong agar hak setiap individu untuk berpendapat dan berekspresi tetap dilindungi, dan agar pendekatan pidana tidak digunakan dalam kasus-kasus yang melibatkan kebebasan berpendapat dan berekspresi. “Komnas HAM mendorong agar adanya jaminan perlindungan hak setiap orang berpendapat dan berekspresi, serta tidak menggunakan pendekatan pidana atas kasus-kasus berpendapat dan berekspresi,” tambah Atnike.
Komnas HAM juga menekankan pentingnya perlindungan bagi para pembela HAM di Indonesia. Dengan penghentian kasus ini, diharapkan perlindungan terhadap hak asasi manusia, khususnya bagi para pembela HAM, dapat terus ditingkatkan.
Sebelumnya, Meila ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik saat menjadi pendamping hukum 30 korban pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta berinisial IM.
Julian Duwi Prasetia Direktur LBH Yogyakarta mengungkapkan bahwa upaya kriminalisasi itu menyakitan, tidak hanya bagi pendamping yang dikenai kriminalisasi, tetapi juga bagi pendamping lainnya yang sedang melakukan upaya advokasi dan berdedikasi untuk mendampingi korban kekerasan seksual. “Ini juga menyakitkan bagi korban,” lata Julian kepada Tempo.co, pada Rabu 7 Agustus 2024.
“Adanya upaya kriminalisasi ini adalah bentuk pelemahan terhadap rasa keadilan bagi korban-korban kekerasan seksual,” lanjut Julian. Ia juga menekankan pentingnya mengecam tindak kriminalisasi yang diarahkan kepada pendamping korban maupun pejuang Hak Asasi Manusia.
“SP3 ini sekaligus kemenangan korban KS dan kemerdekaan korban untuk memilih saluran pelaporan dan jenis mekanisme pemulihan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi korban, sebagaimana dijamin dalam UU TPKS. Akhirnya diamini oleh Polda Yogyakarta,” tulis pengurus YLBHI dan LBH Yogyakarta dalam siaran pers, pada Selasa, 6 Agustus 2024.