Parpol Semakin Tidak Demokratis, Rizal Ramli: Seakan Dikelola Sebagai ‘CV’
Berita Baru, Jakarta – Rizal Ramli mengatakan bahwa telah umum diketahui, partai-partai politik di Indonesia kebanyakan seakan dikelola sebagai ‘CV’ yang tergantung pada Ketua Umum Partai.
Hal itu ia tegaskan dalam gelaran diskusi Twitter Space bertajuk ‘Oligarki dalam Parpol dan Bahayanya Bagi Demokrasi’, yang diselenggarakan Universitas Paramadina Jakarta, Jumat (7/7).
Menurut Rizal, jika di flashback kembali ketika jatuhnya orba, maka yang tampak para pejuang atau aktivis Reformasi 1998 terlalu euforia. Hanya senang dengan kejatuhan Soeharto, tetapi tidak memikirkan peranan kelembagaan lain termasuk peranan partai-partai politik.
“Memang saat itu banyak aktivis mahasiswa menuntut agar partai politik pendukung orba dibubarkan saja. Sempat demo ke kantor Golkar dan lain-lain. Tetapi pada titik itu kita anggap partai-partai akan menyesuaikan diri,” ujarnya.
Namun demikian, lanjut Rizal, saran bahwa partai-partai pendukung orba perlu dibubarkan saat itu ada benarnya, jika dilihat kondisi dan situasi partai hari ini. Karena partai-partai itu semakin menunjukkan sifat yang tidak demokratis secara internal di mana pengaruh ketua umum sangat dominan.
“Segala hal diatur oleh mereka, termasuk setoran-setoran yang banyak masuk ke kantong ketua umum parpol dan bukan ke organisasi,” katanya.
Bahkan bagi Rizal, parpol sekarang banyak yang mendapat pendanaan dari berbagai pihak dan juga banyak ‘mengutip’ dana dari APBN, APBD dan BUMN.
“Tetapi kebanyakan dana-dana itu masuk ke kantong-kantong ketua umum Parpol dan tidak masuk ke pendapatan resmi partai. Hal-hal itu tidak bisa kita tolerir lagi,” tegasnya.
Namun bagi Rizal, partai politik itu wajib dan perlu adanya bila sesuai dengan konteks negara Indonesia yang menganut sistem demokratis. Tetapi pengelolaannya harus ada demokratisasi di dalam partai itu sendiri.
“Tidak bisa semua kewenangan berasal dari ketua umum parpol,” kayanya.
Baginya, para ketua umum parpol saat ini bisa memecat anggota-anggota DPR seenaknya, sehingga 575 anggota DPR hanya bagai taman kanak-kanak yang hanya manut kepada 9 atau 10 ketua umum.
“Sementara ketua umumnya sendiri dicontain atau disenangkan oleh penguasa lewat proyek untuk ketua umum, kredit untuk ketua umum dan sebagainya,” jelasnya.
“Sistem politik seperti itu justru bisa merusak demokrasi. Oleh karena itu setelah Jokowi harus ada pembenahan,” sebut Rizal.
Beberapa saran pembenahan yang Rizal ajukan diantaranya parpol dibiayai oleh negara seperti di Eropa, Inggris, New Zealand, Australia dan negara-negara Arab. Ia menyebut, biaya tersebut setelah dihitung tidak mahal, hanya Rp30 triliun satu tahun.
“Toh praktiknya sekarang parpol ‘nyolong’ ramai-ramai itu lebih dari Rp75 triliun,” katanya.
Tetapi, lanjut Rizal, pembiayaan itu harus diikuti oleh kewajiban untuk mengubah AD/ART parpol. Supaya terjadi demokratisasi internal partai politik. Tidak bisa kemudian bicara demokrasi sementara di dalamnya sendiri tidak demokratis.
“Lalu, siapapun anggota parpol tidak perlu jadi mantunya, atau cucunya sendiri bisa menjadi ketua umum,” sebutnya.
Selanjutnya, menurut Rizal pengeluaran yang dibiayai oleh negara itu harus diaudit dam hanya boleh digunakan untuk kepentingan kaderisasi, kampanye serta organisasi partai politik. Tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi.
“Setelah itu kita baru yakin seandainya parpol itu bersih dan demokratis maka dia sudah pasti akan memperjuangkan keadilan, demokrasi dan good governance dalam pemerintahan,” jelas Rizal.
“Tetapi jika seperti saat ini parpol suka terima uang sogokan dan tidak demokratis maka mereka tidak pernah perjuangkan keadilan, demokratisasi untuk rakyat, dan tidak pernah memperjuangkan kemakmuran untuk rakyat. Mereka sibuk untuk memperkaya dirinya sendiri dan kawan-kawannya,” pungkasnya.