Walhi Jateng : Target SDGs Dorong Industri Hijau Dianggap Kontradiktif di Lapangan
Berita baru, Semarang – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah (Jateng) menilai target pembangunan berkelanjutan atau SDGs pada tahun 2030 yang mendorong penerapan industri hijau sangat kontradiktif di lapangan. Hal tersebut dapat dilihat pada masifnya pembangunan kawasan industri yang tersebar di Jawa Tengah.
“Di Kota Semarang ada tujuh kawasan industri, di Kendal ada satu, di Demak ada satu, kemudian ada juga di Batang yang terbagi dalam dua zona dengan luas 334 hektar. Provinsi Jawa Tengah menilik dalam konteks peningkatan ekonomi maka dibagi-bagi wilayahnya, ” kata Fahmi Bastian, Direktur Eksekutif Walhi Jateng dalam webinar yang digelar UKM-F Kelompok Studi Hukum Islam bertajuk “Dilema Hukum dalam Upaya Menunjang Pertumbuhan Ekonomi dan Pelestarian Lingkungan di Tengah Ancaman Resisi Menju SDGs 2030”, Sabtu (5/11/2022).
Menurut Fahmi praktik kontradiktif lainnya dapat dilihat pada Energi Bersih Terbarukan (EBT) di Jateng yang ternyata tak ramah lingkungan. Misalnya, lima Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang tersebar di Jateng, sebagian besar bahan bakarnya masih menggunakan energi fosil atau batu bara.
Selain itu, ada juga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Dieng dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Solo yang masih menjadi polemik besar bagi masyarakat, lantaran dinilai berdampak buruk bagi lingkungan maupun kehidupannya.
Ia menduga masalah kerusakan lingkungan dari industri terjadi semakin masif sejak UU Cipta Kerja diberlakukan. Dahulu sebelum diberlakukannya UU Cipta Kerja, dengan menggunakan Peraturan Pemerintah No.27 tahun 2012, kebijakan izin lingkungan dilakukan melalui beberapa tahapan.
Tahapan tersebut meliputi permohonan izin lingkungan, penyusunan Analisis Mengenai Dampak Alam dan Lingkungan (AMDAL), penilaian AMDAL, maupun kegiatan yang mewajibkan izin AMDAL. Namun setelah UU Cipta Kerja diberlakukan, hanya menyisakan tahapan penyusunan AMDAL dan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan.
“Jadi bagaimana dulu ada sidang-sidang AMDAL di mana ada nilai partisipasi publik muncul, pasca UU Cipta Kerja tidak ada lagi. Itu yang akan mengakibatkan pengawasan industri atau usaha semakin berkurang,” katanya
Fahmi mejelaskan dampak buruk atas terbitnya UU Cipta Kerja yang menghapus ketentuan mempertahankan 30 persen kawasan hutan, dapat diamati langsung di Kota Semarang yang mengalami banjir besar pada tahun 2021. Penyebab banjir tersebut diakibatkan berubahnya tata ruang seperi Kecamatan Mijen, Tembalang serta Gunungpati yang dahulu merupakan kawasan hijau telah berubah menjadi kawasan industri manufaktur dan industri properti.
Selain itu, Fahmi tak sepakat dengan konsep pemerintah atas perdagangan karbon, lantaran memberikan celah bagi perusahaan industri ekstraktif yang tak serius menurunkan emisi gas rumah kacanya. Padahal, seharusnya perusahaan yang bergerak pada industri ekstraktif dapat mentranformasikan bisnisnya dari energi berpolusi ke ramah lingkungan.
“Adanya karbon kredit, sektor industri dapat leluasa mengkompensasi dan membayar sejumlah uang, tanpa harus repot-repot mejaga emisi gas buang yang dikeluarkan,” katanya
Fahmi menyarankan seharusnya yang didukung pemerintah adalah transisi energi yang adil dan berkelanjutan. Transisi energi harus menjadi proses yang menggantikan pola penyediaan energi yang ekstraktif dan sentralistik menjadi regeneratif dan demokratis.
“ Sehingga bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan hidup,” pungkasnya.