Timboel Siregar: PMI Berhak Atas Program JKN
Berita Baru, Jakarta – Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPRI), Timboel Siregar mendorong agar pemerintah segera membuat regulasi yang jelas terkait hak Pekerja Migran Indonesia (PMI) untuk mendapat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“Pekerja Migran Indonesia (PMI) berhak atas jaminan sosial, yang salah satunya adalah berhak atas program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ini amanat Pasal 28H UUD 1945,” kata Timboel Siregar kepada Beritabaru.co, Senin (3/10).
Menurutnya, sampai hari ini belum ada regulasi yang mengatur tentang PMI terhadap JKN, kecuali Inpres no. 1 tahun 2022. Sebenarnya Inpres bukanlah regulasi tapi instruksi yg wajib dijalankan para K/L yang diinstruksikan Presiden.
Lebih lanjut Timboel Siregar menyinggung salah satu isi Inpres no.1 tahun 2022 terkait 3 poin yang diinstruksikan kepada Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Diantaranya, poin (a.) mewajibkan calon Pekerja Migran Indonesia menjadi Peserta aktif program Jaminan Kesehatan Nasional
Poin (b.) mewajibkan Pekerja Migran Indonesia yang bekerja di luar negeri kurang dari 6 (enam) bulan untuk menjadi Peserta aktif dalam program Jaminan Kesehatan Nasional selama berada di luar negeri, dan
Dan poin (c.) menyusun dan menetapkan regulasi teknis untuk mendukung pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional.
Timboel Siregar menilai, pada poin (b) yaitu PMI yang kerja kurang dari 6 bulan wajib menjadi peserta aktif. Artinya wajib menjadi peserta aktif adalah membayar iuran. Merujuk Pasal 16 UU SJSN, peserta berhak mendapatkan manfaat dan informasi atas program yang diikutinya.
Ia kemudian mempertanyakan, bagaimana PMI yang sedang kerja di luar negeri mendapatkan layanan JKN, sementara JKN hanya beroperasi di wilayah NKRI. Di luar negeri tidak ada FKTP yang bisa dipilih oleh PMI, dan RS di luar negeri mungkin tidak mau dibayar dgn INA CBGs versi Indonesia,.
“Kalau menggunakan mekanisme reimbursement yg diatur di Perpres no. 82 tahun 2018 tentunya proses penjaminan PMI oleh JKN bisa dilakukan. Seharusnya BP2MI menyegerakan point (c.) Inpres 1 tahun 2022 tersebut dengan membuat regulasi teknis dengan K/L lainnya yang memastikan PMI mendapatkan manfaat JKN di luar negeri,” terangnya.
Bila memang JKN belum bisa beroperasi di luar negeri dengan memberikan manfaat, lanjutnya, maka mekanisme reimbursement bisa digunakan dalam regulasi. Jadi PMI yang sakit bisa melakukan reimbursement kepada BPJS Kesehatan, karena tidak ada RS di luar negeri yg bekerjasama dgn BPJS Kesehatan.
Selain itu regulasi juga memastikan PMI yang pulang dari luar negeri mendapatkan manfaat JKN maksimal 6 bulan tanpa lagi harus membayar iuran dan bila 6 bulan belum dapat kerja juga maka bisa menjadi peserta PBI yg iurannya dibayar pemerintah.
“Ketentuan penjaminan PMI maksimal 6 bulan tersebut diarahkan sesuai Pasal 27 Perpres no. 82 tahun 2018 yg memberikan fasilitas bagi pekerja yang ter PHK. Sebagai warga negara Indonesia yg berhak atas program JKN maka segerakan perbaikan regulasi agar PMI bisa merasakan manfaat JKN dimanapun mereka berada,” harapnya.
Timboel Siregar pun melihat, sebenarnya Inpres no. 1 tahun 2022 terkait PMI sudah bertentangan dgn Pasal 16 UU SJSN, dan oleh karenanya segerakan pembuatan regulasi ttg JKN bagi PMI. “Memaknai Inpres no.1 tahun 2022 tanpa ada pembuatan regulasi tsb merupakan penegasian isi Pasal 28H UUD 1945,” pungkasnya.