Sukses Gelar COP-4.2 Konvensi Minamata, Indonesia Kawal Isu Perdagangan Ilegal Merkuri
Berita Baru, Bali – Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK, Rosa Vivien Ratnawati yang juga selaku Presiden COP-4 Konvensi Minamata secara resmi menutup pertemuan COP-4 segmen kedua (COP-4.2) Konvensi Minamata di Bali (26/3), dini hari waktu setempat.
Dikutip dari keterangan laman resmi menlhk.go.id, Rapat Pleno yang seharusnya dijadwalkan selesai petang hari sebelumnya, terpaksa diperpanjang hingga dini hari. Vivien menerangkan bahwa penyelenggaraan COP-4.2 Konvensi Minamata pada tanggal 21–25 Maret 2022 berjalan dengan sukses.
“Pertemuan tersebut secara resmi ditutup hari Sabtu, 26 Maret 2022, pukul 05.20 WITA. Dengan selesainya penyelenggaraan COP-4.2 ini, maka pemerintah Indonesia sukses menjadi tuan rumah seluruh rangkaian penyelenggaraan COP-4 Konvensi Minamata 2021-2022,” kata Vivien.
Sebelumnya, pertemuan COP-4.2 di Bali dibuka secara resmi oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya (21/3). Pertemuan ini dihadiri oleh kurang lebih 500 orang peserta yang merupakan perwakilan dari 103 negara pihak konvensi Minamata, badan-badan PBB, regional center, IGO, NGO, dan media.
Gelaran COP-4.2 di Bali fokus membahas 2 isu substantif. Pertama mengenai review dan amendemen Lampiran A and B, dimana terdapat usulan dari beberapa negara untuk menambahkan pengaturan phasing-out produk-produk mengandung merkuri dan proses industri yang menggunakan merkuri.
Kedua, Effectiveness Evaluation (EE), yang merupakan kerangka untuk menentukan bagaimana evaluasi terhadap pengaturan Konvensi dan langkah-langkah yang dilakukan oleh para negara pihak dalam mewujudkan tujuan konvensi.
Para delegasi yang bekerja pada masing-masing grup diskusi telah membuat kemajuan yang baik untuk kedua isu tersebut. Hasil utamanya adalah, mengadopsi keputusan terkait amandemen Lampiran A and B, mengenai produk mengandung merkuri dan proses yang menggunakan merkuri.
Sementara pada isu Effectiveness Evaluation, para negara pihak telah menyepakati bisnis proses framework on EE dan setuju untuk membentuk suatu scientific body bernama Open-ended Scientific Group (OESG), agar proses EE tetap bisa berjalan meskipun advisory group-nya belum terbentuk.
Keberhasilan lainnya dari pelaksana Konvensi Minamata di Bali adalah peluncuran Bali Declaration to combat illegal trade of mercury (Deklarasi Bali) oleh Menteri LHK pada hari pertama pertemuan. Ketua Delegasi Republik Indonesia (DELRI) pada COP-4.2 Konvensi Minamata, Muhsin Syihab menjelaskan bahwa, Deklarasi Bali bersifat tidak mengikat (non-binding).
Melalui deklarasi ini, Indonesia berharap isu perdagangan ilegal merkuri dapat menjadi arus utama, untuk kemudian mendorong adanya Kerjasama di tingkat bilateral, regional, dan multilateral guna mengatasi perdagangan ilegal Merkuri.
Selanjutnya, dalam jangka panjang diharapkan dapat melengkapi tata kelola internasional untuk melawan perdagangan ilegal Merkuri.
Pasca peluncuran Deklarasi Bali oleh Menteri LHK pada hari pertama, Indonesia telah mendapat dukungan tertulis dari beberapa negara seperti Argentina, Perancis, Estonia, Slovenia, Belanda, Belgia, Swedia, Austria, Jerman, Rumania, Ceko, dan Finlandia.
Selain itu dukungan (co-sponsor) selama masa penyusunan pun telah diterima dari negara Sierra Leone, Kamerun, Chad, Burkina Faso, Mali, Filipina, dan RRT.
Deklarasi Bali tidak akan berhenti pada COP ini, melainkan merupakan awal untuk menjalin koordinasi, kolaborasi dan kerjasama lebih lanjut untuk bersama-sama memerangi masalah perdagangan ilegal merkuri.
Pemerintah Indonesia menyambut baik dan mengundang semua pihak terkait untuk menindaklanjuti deklarasi ini, termasuk pada COP berikutnya.
Pada akhir persidangan, COP-4.2 mengadopsi beberapa dokumen keputusan, diantaranya:
(1) Election of officers; (2) Artisanal and small-scale gold mining; (3) Mercury releases; (4) Draft guidance on the use of customs codes for monitoring and controlling trade in mercury-added products; (5) Financial resources and mechanism for the Convention; (6) The revised draft guidance for completing the national report format; (7) Program of work and budget for the 2022-2023 biennium; (8) Gender mainstreaming; (9) Capacity-building, technical assistance and technology transfer; (10) Implementation and Compliance Committee; (11) Enhanced cooperation with the Secretariat of the Basel, Rotterdam and Stockholm Conventions; dan (12) Venue and dates of the fifth meeting of the Conference of the Parties.
Terdapat juga beberapa pending issue yang belum mencapai kesepakatan bersama yang kemudian isu tersebut akan dibahas kembali di COP-5. Isu-isu tersebut yakni:
(1) Mercury waste: consideration of the relevant thresholds; (2) Indikator Effectiveness Evaluation; (3) Pembentukan Effectiveness Evaluation Group (EEG), termasuk Term of Reference-nya; dan (4) Kesepakatan jenis barang dan/atau waktu phasing-out produk mengandung merkuri dan proses yang menggunakan merkuri yang belum disepakati.
Selama persidangan 5 hari ini, terlihat bahwa Parties sangat bersemangat dan antusias dalam memberikan masukan-masukan konstruktif terhadap setiap isu yang dibahas. Proses negosiasi pun sangat dinamis dan cukup alot pada beberapa isu, terutama saat di Contact Group atau grup diskusi.
Namun, terlepas dari semua tantangan yang dihadapi selama penyelenggaraan COP-4.2, dan COP-4 secara umum, Indonesia telah menunjukkan kepemimpinan Indonesia dalam memainkan peran sentral diplomasi lingkungan hidup global untuk menyelesaikan masalah lingkungan serta, mempertegas komitmen upaya pengurangan dan penghapusan merkuri serta peran diplomasi lingkungan hidup di tingkat global.
Pertemuan COP berikutnya atau COP-5 akan dilaksanakan pada 30 Oktober–3 November 2023 di Jenewa, Swiss, di bawah presidensi Rumania. Indonesia siap terus berkontribusi aktif dalam persiapan COP-5, untuk melanjutkan upaya kolektif dalam mewujudkan “Make Mercury History”.